Teringat kembali beberapa bulan terakhir. Kala itu aku sedang mengikuti Dale Carnegie -Fundamental Leadership Program. Sebuah program pelatihan kepemimpinan dasar yang dilakukan oleh orang-orang lintas usia dan profesi. Diformulasikan sedemikian rupa, hingga membentuk suatu kurikulum belajar yang kondusif dan menyenangkan.
Adapun ketika itu, aku sedang bekerja di perantauan. Sedang berjuang dalam karir untuk menumbuhkan kepercayaan bos setelah sekian lama dicap underperform. Maksud hati ingin memperbaiki diri, program traininglah yang aku cari.
Teringat suatu tugas, untuk membuat sebuah cerita tentang bagaimana aku bisa menghargai life defining moment. Cerita yang kuceritakan adalah saat masih TK.
***
Ketika itu, hari Jumat Siang. Aku masuk ke acara makan bersama teman-teman TK. Lauk hari itu adalah telur dadar dan sayur lodeh. Kami semua makan dengan gembira. Tanpa disangka aku banyak cakap dan sedikit mengunyah.
Tiba saatnya kami mau selesai, piringku masih tersisa banyak. Teman-temanku sudah mulai habis dan mengembalikan piring. Aku langsung memberikan separuh piringku kepada temanku yang sudah habis porsi nasinya.
Ternyata, dia mengadu kepada ibu guru dan aku dijewer. Kala itu aku harus menghabiskan porsiku sendirian.
Sendirian, hanya sendirian.
Teman-teman bergerak meninggalkan ruang kelas menuju aula, karena ibadah hari jumat sudah dimulai. Aku yang ketakutan karena tidak habis segera menghabiskan porsiku. Dan saat ruangan kelas sunyi, aku menangis, seorang diri.
Di titik ini aku merasa, orang-orang jahat dan meninggalkanku.
Entah dari mana, tiba-tiba aku mendapat siraman rohani dan jiwaku tersadarkan. Aku harus berani bertanggung jawab akan apa yang sudah aku lakukan. Aku harus menghabiskan piring ini hingga tuntas.
Suap demi suap, lauk demi lauk aku habiskan. Hingga habis, tak bersisa.
Aku lari tergopoh-gopoh karena mengejar ibadah yang aku khawatirkan sudah selesai. Syukurlah aku masih bisa beribadah.
Selesai ibadah, aku bersalaman dengan guru dan aku segera berlari memeluk ibu yang menjemput. Ternyata, orangtuaku sudah menunggu sejak tadi.
***
Kala itu, aku bercerita kepada teman-teman, bahwa yang terpenting dari cerita ini adalah mengambil tanggung jawab atas apa yang sudah diperbuat. Dalam ceritaku ini, aku mengambil tanggung jawab untuk menghabiskan nasiku sendiri yang sudah aku ambil.
Di dunia pekerjaan, tentu kita mengambil “porsi” pekerjaan yang bervariasi bukan? Dan saat aku harus mengambil porsiku untuk makan nasi, saat itu juga aku harus mengambil tanggung jawabku untuk menghabiskannya.
***
Pemateri menyampaikan, bahwa menceritakan life defining moment tentu saja tidak mudah. Terkadang, perlu usaha keras untuk menggali dan menceritakan pengalaman tersebut tanpa malu. Kita harus berjuang dan berusaha, agar kita tidak membuatnya suatu hal yang memalukan di depan publik, tetapi suatu panggung hiburan yang bisa dinikmati.
Saat aku mengingat pengalaman memalukan itu, aku menerapkan self-acceptance atau penerimaan diri. Saat itulah aku harus bisa menerima diriku yang kala itu menangis. Sehingga aku tidak boleh untuk mengutuki diri dan takut akan ditertawakan.
Ternyata, self-acceptance ini menumbuhkan self-respect. Dengan menerima masa lalu, kita bisa menumbuhkan rasa hormat pada diri sendiri. Kita menjadi tahu, sejauh mana teman-teman bebas menertawakan atau mengomentari.
Dengan self-respect, kita juga menumbuhkan self-confidence. Itu sebabnya saat aku bercerita, aku bercerita dengan lantang dan tentunya dengan ekspresi yang memadai. Saat adegan menangis, aku pura-pura menangis tersedu-sedu.
***
Untuk menumbuhkan self-confidence, kita harus menyadari kelebihan dan kekurangan kita. Dengan begitu tiap kali ada orang ingin menertawakan atau menyerang kelemahan kita, kita sudah lebih mengetahui. Kita bisa saja marah, namun bentuk penerimaan diri adalah bagaimana kita bisa menerima segala bentuk rangsangan dari luar dengan lapang dada.
Dan hidup dengan leluasa, seperti tidak ada beban di dada.
Bermula dari penerimaan diri, hingga kepada kepercayaan diri.
Semua ini dalam rangka menuju penemuan diri yang utuh.