Alasanku Mengunjungi Psikolog

[trigger warning] Aku terbaring di antara bantal guling yang tak beraturan, setelah beberapa jam yang lalu emosiku meledak-ledak.
Aku menangis, mengerang, dan meraung dalam benda empuk tersebut. Penuh tekanan dan derita atas beberapa bulan berpura-pura ini, mentalku akhirnya hancur juga.
“Apakah aku membutuhkan Psikolog?” Pikirku melayang dalam angan yang tak berkesudahan.

Keesokan harinya aku kembali merasakan dunia yang indah, cerah, matahari bersinar, udara segar. Pokoknya segala kiamat dunia telah musnah dan kini lahirlah langit baru dan bumi baru. Harapan baru. Semangat baru. Seakan semalam tak terjadi apa-apa.

Aku kembali melanjutkan hari-hariku. Bekerja seperti biasa. Bermain seperti biasa.

Suatu ketika di suatu siang, entah mengapa aku seperti tersambar petir. Ada orang yang mengusikku dengan mengingatkanku pada luka lama:

Kenangan mantan.
Kemarahan orang lain.
Omongan orang yang menyiksa batin.

Hingga akhirnya air mataku terburai.

Air mataku habis sejadi-jadinya. Aku hancur sejadi-jadinya. Aku kembali jatuh mental.

Di suatu malam yang dingin, aku kembali mengenang hal-hal yang menyakitkan itu. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku tidak tahan dan memutuskan untuk mengambil bak berisi air.

Aku memasukkan kepalaku sedalam mungkin hingga aku tak merasakan nafas yang erat dan cukup pusing. Sampai akhirnya aku mengeluarkannya.

Aku tidak tega.

Frustrasi. Aku mengeluarkan kepalan tinjuku dan kukeluarkan ke tembok ini.

Aku putus asa.
Dan aku berada di ambang kesadaranku.

Satu tahun berlalu dan aku hidup normal. Cukup normal sampai aku merasakan tekanan kerja. Dan aku kembali menangis sendirian di kantor, seorang diri.

And the cycle repeats on and on

Mungkin itulah penggalan kisah dari satu rentetan kisah yang panjang. Mungkin itulah fragmen dari bagaimana dunia ini bekerja.

Dan mungkin itulah cerita kelam yang menghiasi hiruk pikuk dunia dan kesibukan orang dewasa ini.

Tapi, siklus ini tak boleh dibiarkan berulang.

Pertanyaan nya :
Mau sampai kapan?
Mau berapa orang lagi ku korbankan?
Mau sesering apa ku menutupi diri sendiri dan terus main kucing kucingan dengan perasaan?

Semua pertanyaan ini aku jawab dengan mengunjungi psikolog.


Tiga pilar inti alasan ke Psikolog

Ketika aku ditanya oleh psikolog apa tujuanmu datang ke sini, aku menjawab dengan sederhana:

  1. Ingin lebih kenal dengan diri sendiri
  2. Mau memaksimalkan potensi diri
  3. Ingin hidup di tengah tengah masyarakat dengan batasan yang sehat

Adapun alasan implisit dariku adalah : aku ingin keluar dari rantai trauma yang tak pernah berakhir ini. Kuingin bebas sebebasnya dari belenggu masa lalu, dan aku ingin melesat jauh dengan kemampuan yang ada.

Tidak takut ke psikolog

Banyak temanku yang kuliah jurusan psikologi. Mereka mendorongku untuk pergi ke psikolog dan konseling. Aku pun tidak dicap gila atau kurang waras. Selain itu mereka malah memberiku semangat dan motivasi agar aku pulih kembali.

Tidak takut kemahalan

Ada harga ada rupa. Aku rasa, kunjungan ke Psikolog ini tak menjadi hambatanku untuk menabung dan financial freedom. Aku tetap bisa menabung yang banyak di bulan-bulan berikutnya. Aku masih bisa sukses dengan cara apapun selain bergantung pada gaji.


Semua ceklis sudah dilakukan. Dukungan keluarga dan teman ada. Uangnya juga sudah ada. Alasannya juga sudah kuat. Saatnya aku berangkat.

Semua ini demi masa depan yang aku impikan. Inilah hari-hari indah yang akan kuceritakan pada lembar-lembar berikutnya.

Akan kubuktikan kepada dunia, bahwa kunjungan ke Psikolog ini penuh manfaat dan dampak baik. Sehingga aku tak akan pernah menyesal.

#30DWCJilid44 #Day5

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *