Waspada, 10 Hal ini Bikin Rencana Kita Cuma Wacana! Yuk Atasi bersama!

Pernah bingung, selama ini punya rencana, tapi wacana terus?
Dan teman-teman mencap kita “wacana forever“?

Bukan sepenuhnya salah kamu, salah aku, salah kita. Namun tidak sepenuhnya kita bertahan di sikap seperti itu.

Mari kita evaluasi mengapa rencana kita tidak terrealisasi, dan bisa hancur berkeping-keping menjadi puing-puing wacana.
Cekidot!

1. Rencana Kurang Matang

Kurangnya perencanaan yang matang bisa menghambat perjalanan menuju realisasi karena rencana yang tidak terstruktur dengan baik akan sulit direalisasikan.

Contoh perkara 30DWC. Kita memiliki bank ide, tetapi tidak tahu bagaimana mencari dan menghimpun fakta untuk mematangkan ide-ide tersebut. Kita memiliki ide, namun tidak tahu isi paragrafnya tentang apa. Sehingga kita akan sangat kesulitan dalam menerapkannya.

Sebaiknya kita pikirkan sumber ide tersebut: pengalaman, pengetahuan tambahan, atau hal lain? Semakin matang idenya, semakin lancar nulisnya.

2. Kurang Motivasi

Kurangnya motivasi juga bikin kita gagal. Tanpa dorongan kuat, kita semua akan kehilangan semangat untuk mencapai rencana mereka.

Motivasi itu hendaknya dari dalam, bukan dari luar. Oleh sebab itu penting sekali kita untuk menjadi orang yang self-driven. Kita boleh tergerak oleh orang lain, karena kata atau tindakan orang. Tetapi kita harus menjadi self-motivated untuk menggerakkan diri kita. Sehingga kita akan terus terpacu.

3. Kurang Rencana Cadangan

Tidak memiliki rencana cadangan membuat seseorang tidak siap mengatasi rintangan atau perubahan. Sehingga rencana akan menemui kegagalan. Maka dari itu ada pentingnya kita membuat ide-ide tambahan dalam menulis.

Kita bisa membuatnya dengan mengerahkan sebanyak mungkin ide dengan jumlah lebih banyak dari 30 hari menulis. Anggaplah kita menulis 30 tulisan selama satu bulan, maka keluarkanlah 50 ide. Setidaknya itu bisa membuat kita aman sampai akhir bulan.

4. Kurang KUWAT (Kemampuan, Uang, Waktu, Alat, Tenaga)

Kurangnya sumber daya KUWAT dapat menghalangi kita mencapai rencana. Contoh dalam konteks menulis:

  • Kurang Kemampuan: ketika kita belum pernah menerapkan dialog tag, tanda baca, istilah baku, majas, ataupun kutipan. Maka kita akan kesulitan menyelesaikan tulisan.
  • Kurang Uang: kita tidak bisa mendaftar biaya pendaftaran 30DWC, nongkrong di cafe untuk cari inspirasi, atau membayar biaya penerbitan buku. (untuk yang ingin mempublikasikan karyanya.)
  • Kurang Waktu: kita tidak bisa menyelesaikan tulisan pada waktunya.
  • Kurang Alat: kita tidak punya alat sendiri. Cara mengatasinya yaitu, pinjem laptop kakak, adek, bapak, teman, atau menulis di HP dan di warnet.
  • Kurang Tenaga: kita akan kesulitan untuk menulis di atas target kata kita.

5. Kurang Skala Prioritas

Bagaimana kalau kita sibuk? Ada anak, suami, istri. Ada pekerjaan utama. Ada kegiatan lain? Jangan-jangan kita malah jadi lupa menulis.

Ternyata tidak juga. Asal kita tahu prioritas kita, semua akan bisa terealisasi sesuai porsinya.

6. Kurang Pengalaman dan Pengetahuan

Kurangnya pengalaman dan pengetahuan mengenai apa yang mau ditulis, bisa membuat karya-karya kita tidak terealisasi.

Maka dari itu, yang paling gampang untuk ditulis adalah pengalaman pribadi, dan menulis sesuai jurusan atau bidang pekerjaan yang digeluti.

7. Takut Gagal

Rasa takut untuk gagal, membuat kita sulit bergerak. Masih ingat tulisan Tindakan Mengalahkan Rasa Takut? Nah, ketakutan yang kronis bisa membuat kita tidak bertindak.

Namun, tindakan dengan mental yang kuat layaknya pejuang, membuat kita tidak takut untuk gagal dan terus bergerak.

8. Kurang Komitmen.

Setelah membuat komitmen, seseorang akan belajar untuk konsisten. Jangan sampai komitmen yang dibuat hanya sekedar slogan atau gaya-gayaan semata. Konsistensi bisa diciptakan dengan memberikan sanksi terhadap diri sendiri.

Misalkan, pengurangan poin sebagai bentuk disiplin. Atau tidak boleh main game, jajan, atau nonton drakor karena tidak konsisten. Apa yang membuat kita disiplin, itu semua tergantung kita masing-masing. Jangan sampai kita menunggu “dipecut” oleh orang lain akibat ketidakdisiplinan kita.

9. Kurang Dukungan Sosial dari Lingkungan

Punya teman atau anggota keluarga yang toksik dan selalu menyeret atau menghambat kita? Jangan benci mereka. Bencilah sikapnya dengan cara tidak ikut-ikutan mereka. Misalkan mereka pemalas, ya kita jangan ikut-ikutan malas.

Itulah sebabnya kita butuh support system yang memacu setiap tindakan positif kita. Mendekatlah kepada support sistem: mentor, guardian, squad, empire, atau kelompok penulis yang lain.

10. Kurang Prediksi

“Waduh aku lupa, nanti malam ada deadline pukul 22.00.”

“Eh iya, besok kosultasi ke dosen. Aku harus segera menyelesaikan skripsi ini.”

“Duh besok harus report ke atasan. Kerja dulu deh.”

Akhirnya karena segudang excuse di atas, kita malah jadi lupa untuk nulis.

Perkirakanlah hal-hal yang bisa menghancurkan rencana kita untuk nulis seperti: perjalanan panjang, acara keluarga, pekerjaan, ataupun kondisi badan.

Dengan begitu, kita akan bisa mengatur pekerjaan,
bukan pekerjaan yang mengatur kita.


Nah, itulah 10 faktor yang bikin rencana kita cuma jadi wacana. Faktor apakah yang paling menghambat kita?

Dengan mengenali “ancaman dan kelemahan”, kita bisa mengatasi setiap faktor penghambat dengan sumber daya yang ada. Dan merealisasi rencana-rencana kita.

Strategi Bikin Rencana Anti-gagal dan Anti-wacana

“Papah nanti tahun baru kita ke mana?” tanyaku kepada Papa yang baru saja pulang kerja.

“Kita ke pantai ya dek. Nanti disetirin sama kakak,” sahut ayahku sambil meletakkan tas kerjanya.

“Asyik, kita beneran ke pantai kan kak?” tanyaku dengan penuh harap kepada kakakku yang dari tadi memandang laptopnya.

“Iya dek, santai aja nanti kakak yang nyetir. Kita bawa ayam, sosis, bakso, dan marshmallow untuk variasi menu,” kata kakakku.

“Beneran lho kak. Males aku kalo kayak tahun lalu gak jadi pergi karena kakak sibuk. Males kalo cuma wacana terus”

“Enggak dek, beneran besok bisa berangkat” kata kakakku dengan wajah datarnya.

“Jangan lupa bawa jagung dan mentega untuk kita bakar. Nanti kita ajak Nia ya si tetangga kita,” sahut mama yang mengantarkan teh manis hangat ke ruang tamu.

“Asyiiikk,” pekikku riang. Aku tak menyangka keluargaku akhirnya pergi juga setelah sekian lama kami berencana dan hanya berwacana. Ini saatnya yang aku tunggu-tunggu.

Sampai akhirnya, rencana kami itu digagalkan. Kakakku mendapat informasi dari direktorat akademik jurusan bahwa ia harus mengumpulkan naskah Pendadaran nya karena dia akan sidang sebentar lagi. Tanggal 2 Januari adalah batas maksimum pengumpulan. Sementara pengumpulan di atas tanggal itu akan menyebabkan kakakku harus lulus 6 bulan lagi. Kami batal ke pantai karena kakakku harus menyelesaikan tugas utamanya, agar dapat lulus tepat waktu.

Tak disangka, ayahku tidak marah kepada kakak ataupun kesal. Ibuku juga tidak kesal. Mereka berdua mencarikan jalan terbaik dengan mengadakan acara bebakaran di belakang rumah. Kami tidak kehilangan semuanya, kami mendapatkan kebersamaan, bebakaran, suasana keluarga. Yang kami tidak dapatkan adalah pemandangan pantai di kala malam. Tetapi, bukankah itu artinya kita juga tidak mendapatkan lelah pasca bepergian?


Ingin bikin rencana anti gagal dan anti wacana seperti cerita di atas? Berikut cara-caranya:

#1. Menyusun Grand Plan

Saat ini, kita dapat membuat suatu grand plan dengan satu kalimat. Gunakanlah metode SMART yang telah disampaikan di artikel sebelumnya.

Jika aku mengambil sudut pandang seorang ayah, dari cerita di atas, maka grand plan nya adalah: Menghabiskan waktu bersama keluarga dan tetangga dengan acara bebakaran dan bincang santai.

Aku bisa menciptakan sejumlah opsi. Mau bebakaran di villa di puncak? Atau bebakaran di pantai? Atau di halaman belakang rumah? Atau, kita bisa membeli ayam bakar untuk dimakan bersama? Kemungkinan nya sangat banyak, tetapi fokuslah kepada tujuan awal.

Jika kita akan menerbitkan buku, cobalah ciptakan rencana spesifik. Misal : menerbitkan 1 buku dengan tema self-development di tahun 2023, tebal buku 200 halaman A5.

Kita bisa membuat tema khusus seperti “Cara Menjaga kestabilan Mood dalam Bekerja”, atau tema umum seperti “Mengenali diri”. Yang penting tema bukunya self-development. Sehingga kita tidak terbatas akan satu tema ketika kita menjumpai permasalahan.

#2. Singkronisasi grand plan hingga finalisasi rencana

Rencana besar yang sudah dibuat, kita finalisasi dengan memperhitungkan banyak pihak. Dalam konteks realisasi, kita dapat menyesuaikan aspek -aspek KUAT: Kemampuan, Uang, Alat, Tenaga.

  • Kemampuan: apakah kita bisa mencapai tujuan tersebut dengankemampuan yang kita miliki?
  • Uang: apakah dananya cukup?
  • Alat: apakah sarana prasarana nya menunjang
  • Tenaga: apakah jumlah manusia dan tenaga yang mengerjakan masih mencukupi?

Dalam cerita di atas, siapa yang menyetir mobil, bahan makanan apa yang mau dibakar sudah jelas, sehingga rencana bisa didekati ke arah realisasi.

Rencana-rencana bisa saja berubah, dimodifikasi, hingga sampai ke tahap final. Lalu bagaimana bila banyak ketidakidealan atau hal-hal tak terduga lainnya? Itu sebabnyakita bisa melakukan.

#3. Perbaikan Rencana

Bila realita tak seindah rencananya, saatnya kita lakukan perbaikan rencana. Kita bisa menggunakan skenario A, B, C untuk memudahkan kita menggapai realita. Dalam penyusunannya, rencana kita sebaiknya anti -gagal. Bagaimana caranya? Caranya dengan menciptakan worst case scenario atau kemungkinan terburuknya.

Memikirkan kemungkinan terburuk bukanlah suatu kekhawatiran akan masa depan yang tak berdasar. Melainkan suatu bentuk kesiapan akan hal buruk yang mungkin terjadi di depan.

Sehingga ketika hal buruk terjadi, kita benar-benar siap menghadapinya.

Dalam kasus di atas, si Ayah sudah berhasil menyiapkan rencana B ketika pergi ke pantainya gagal. Dan tibalah saatnya untuk …

#4. Eksekusi

Eksekusi, realisasi, tindakan, semuanya adalah usaha-usaha yang menghantar semua rencana-rencana kita kepada gerbang realita, bukan sekadar wacana-wacana ringan. Adapun eksekusi memerlukan usaha, komitmen, keyakinan, dan rasa tanggung jawab.

    Dalam kasus di atas, ayah merasa bertanggung jawab terhadap rencana keluarga dan tetangga jika batal. Maka dari itu, apapun kondisinya, rencana ayah tetap dilanjutkan. Dan semua orang bisa bahagia menjalaninya.


    Membuat rencana memang menyenangkan, tetapi jangan sampai semua rencana kita hancur dalam puing-puing wacana. Memiliki komitmen yang kuat, konsistensi, dan determinasi adalah upaya kita menuju realisasi rencana. Dengan demikian, kepuasan hati bisa lebih tercapai apabila satu-satu rencana jadi nyata.

    Wacana Menuju Realita

    Ada dua orang sahabat, sebut saja Anto dan Budi. Mereka memiliki keinginan untuk menerbitkan buku.

    Suatu hari Anto berkata, “Aku akan menerbitkan suatu buku di tahun ini.”

    Budi membalas “Sama aku juga! Terus sudah berapa penerbit kamu daftarkan?”

    Anto menjawab katanya, “Belum ada. Hanya saja aku sangat ingin menerbitkan buku.”
    “Kalau gitu, sudah berapa naskah yang kamu siapkan?” tanya Budi.
    “Ya belum ada. Aku akan membuatnya suatu hari!” Anto menjawabnya.

    Sementara itu Budi terus membuat naskah. Naskah yang sudah ia siapkan, ia berikan kepada penerbit. Ia terus mencoba mengumpulkan naskah walaupun belum ada penerbit yang menerima naskahnya.

    Budi kembali bertemu Anto dan menanyakan mengenai progress pembuatan buku. “Kamu sudah selesai menulis naskah?”

    Jawaban itu tak diduga, Anto berkata “Aku sibuk sekali, sepertinya besok saja aku nulisnya deh.”

    Budi terus mencoba mendaftarkan naskahnya, melakukan swasunting, improvisasi, hingga mendapatkan satu penerbit yang mau menerima naskahnya. Pada akhirnya Budi duluan yang berhasil menerbitkan buku miliknya.

    “Selamat Budi atas naskahmu yang baru saja terbit!” ucap Anto ketika mereka bertemu kembali. “Terima kasih Anto. Kamu sangat-sangat suportif denganku. Kamu sendiri gimana, jadi nerbitin buku enggak?” balas Budi sambil bertanya.

    “Emm, kayaknya nanti deh, aku masih sibuk. Mungkin bulan depan”


    Cerita ilustrasi ini akan jadi membosankan buat kita apabila Anto tidak segera membuat perubahan. Budi bisa saja mengeluarkan bukunya yang ketujuh, sementara Anto masih mengulur waktu dari bulan menjadi enam bulan, dan dari enam bulan menjadi setahun. Bahkan lebih parah lagi Anto bisa menunda penerbitan bukunya hingga bertahun-tahun kemudian.

    Itulah dampak mengerikan dari “hanya sekadar wacana.” Anto adalah bukti nyata dari suatu wacana yang tak kunjung nyata. Lain cerita, Budi adalah bukti nyata dari “bukan sekadar wacana.” Budi terus berjuang walaupun keadaan tidak mendukung dirinya. Walaupun nasibnya kurang beruntung karena mendapatkan penolakan dari beberapa penerbit. Namun pada akhirnya, Budi berhasil mencetak buku pertamanya.

    Andai saja Anto segera menulis, mungkin saja Anto akan segera menyelesaikan naskahnya. Andai saja naskah Anto sudah selesai, Anto mungkin sudah bisa mengirimkannya ke penerbit. Dan apabila Anto sudah mencoba mendaftar ke banyak penerbit, mungkin ada satu di antaranya yang bisa menerbitkan naskah Anto.

    Seseorang yang “hanya sekadar wacana” akan terus mengatakan “aku ingin” dan “aku mau”. Tetapi orang yang “bukan sekadar wacana” akan mengatakan “aku sudah” “aku telah” , dan beberapa tindakan nyata lainnya.

    Lantas, bagaimana menjadi seperti Budi? Bagaimana agar setiap wacana kita menjadi nyata?

    Pernyataan sikap dan komitmen

    Perbedaan nyata antara sikap Anto dan sikap Budi, terletak pada komitmen yang mereka buat.

    Tunggu sebentar, komitmen? Apakah dampak dari sebuah komitmen?


    Di awal program ini: 30 Days Writing Challenge, kita ditugaskan untuk membuat pernyataan komitmen. Pernyataan ini ditujukan agar kita dapat menyelesaikan tantangan tepat waktu, sehingga seluruh rencana menulis kita bukan sekadar wacana, melainkan suatu gagasan yang berwujud realita. Rasa ingin seperti Anto saja tidak cukup, harus dilandasi oleh suatu komitmen yang kuat.

    Satu lagi, komitmen harus diberitahukan kepada orang yang tepat. Sehingga orang tersebut bisa mendukung kita, atau mengingatkan ketika kita akan bermalas-malasan atau mau keluar dari komitmen tersebut.

    Namun, komitmen juga masih belum cukup. Kita harus membuat suatu rencana karena kita adalah…

    SMART People with SMART Planning

    Kerja keras itu baik, namun ada pentingnya kita bekerja secara cerdas. Adapun dalam menyusun rencana, kita haruslah SMART:
    SMART bisa diartikan sebagai
    Specific: Tujuan yang spesifik
    Measurable : Kriteria suksesnya dapat diukur
    Achievable : Dapat diraih
    Realistic : Sesuai dengan sumber daya yang ada
    Timely : tepat waktu.

    Penyusunan rencana ini juga sudah kita terapkan di 30 Days Writing Challenge bagian KUIS 1: Bank Ide.

    Nah, setelah menyusun rencana, saatnya kita

    Membentuk realita

    Dalam pelaksanaannya, kita sendiri merasa capek, mood-moodan, dan kurang motivasi ketika mengalami kendala. Contohnya, ketika mendapatkan tantangan menulis bertema spesifik. Namun, ada beberapa cara agar kita bisa mencipta realita dari sekumpulan rencana, yakni

    1. Tetap ingat pada komitmen awal yang dibuat (lihat postingannya, rasakan feel nya)
    2. Mendekat kepada support system (Chat Guardian, chat mentor, chat di grup)
    3. Jalani hari seperti biasa, lakukan seperti tanpa beban.

    Setiap dari kita adalah kreator. Penulis adalah kreator. Sejatinya, kita semua adalah kreator gagasan, sehingga semua gagasan bukan hanya sekadar wacana, melainkan kumpulan realita sistematik.

    Kita punya kebabasan, akal budi, hati nurani untuk membentuk realitas-realitas yang kita inginkan, sehingga gagasan kita lebih dari sekadar wacana.

    Jadi, sudahkah kita semua membentuk realita versi kita masing-masing.
    Yuk, buktikan kepada diri ini bahwa kita lebih dari sekadar wacana
    Kita adalah realita itu sendiri.

    Manajemen (Ekspektasi) Perubahan

    “Takut / Menolak perubahan yang bersifat mendadak”

    Masih ingat pernyataan itu? Yups, pernyataan itu muncul dalam tes kepribadian sewaktu melamar kerja/ pendidikan. Ini karakter yang mendeskripsikan aku. Atau bahasa kekiniannya “aku banget”.

    Kembali di 2019 saat aku mengikuti management trainee program. Para pelatih bilang fleksibilitasku rendah. Hal ini terbukti karena kemampuanku untuk menghadapi perubahan masih di bawah rata-rata. Faktanya, dunia ini dinamis dan terus berubah.

    Ibuku selalu mengatakan, bahwa tiada yang abadi di dunia ini selain perubahan. Karena alam semesta adalah kontinuum yang tak lekang dari sesuatu bernama perubahan. Paling tidak, secara fisik kita mengenali perubahan yang terjadi dalam diri kita dan orang lain. Janggut mulai panjang, rambut memutih, badan bertambah tinggi. Semua itu adalah contoh perubahan yang mendasar.

    Lalu bagaimana aku tumbuh mendewasa dan menyikapi perubahan tersebut?

    Membuang Ekspektasi

    Pertama-tama, kita perlu membuang ekspektasi kita dalam apapun atau siapapun dalam hidup ini. Ketika kita berekspektasi terlalu tinggi, dan di saat realita menghajar kita habis-habisan, kita akan remuk. Namun saat kita tak punya ekspektasi banyak, kejadian yang mengecewakan tak dapat melemahkan kita. Sebaliknya, kejadian yang membahagiakan dapat melipatgandakan bahagia kita.

    Kita tak bisa membendung perubahan yang terjadi terus menerus di alam semesta yang serba fana ini. Kita hanya bisa terus beradaptasi karenanya.

    Selalu ingin belajar dan memahami, tak gampang puas hati

    Aku merasa ketika orang-orang dalam hidupku berubah, mereka sudah menjadi jahat. Padahal sebenarnya mereka hanya menunjukkan sifat aslinya saja. Atau mereka hanya menjadi diri mereka sendiri. Apakah salah ketika orang lain menjadi diri mereka sendiri?

    Jawabannya tidak. Mereka punya hak untuk menjadi apapun yang mereka mau. Apakah konsep ini kudapat dalam satu malam?

    Tentu saja tidak. Aku perlu melewati banyak luka, sakit, dan kecewa. Namun satu hal yang aku garisbawahi di sini adalah, kemampuanku untuk belajar dan mengerti orang lain meningkat seiring dengan luka dan kecewa tersebut. 

    Kita boleh saja merasa cukup, namun selalu ingin belajar dan memahami apapun dan siapapun jauh lebih penting daripada rasa cukup itu. Dengan mencoba memahami, kita jadi mudah untuk menyesuaikan semua kondisi baru yang kita terima. 

    Reaksi kita boleh kaget, atau kecewa. Namun yang namanya belajar memahami tidak boleh berhenti, kapanpun dan di manapun.

    Melihat gambaran yang lebih besar

    Pernahkah melihat ulat? Adapun ulat yang menjijikkan, lengket, dan membuat gatal terkesan tidak diinginkan. Karena ulat punya sifat-sifat yang tidak diinginkan kita. Namun cobalah menunggu fase hidup ulat lebih lama lagi. Sesaat dia menjadi kepompong dan kemudian dia menjadi kupu-kupu. Apakah kita merasa jijik setiap kali bertemu kupu-kupu? Tentu saja tidak. Lagipula mereka akan terbang dan menghinggapi bunga-bunga. Betapa fase siklus yang indah dan kita nantikan!

    Apabila kita hanya melihat satu fase hidup, maka kita merasa ulat atau kepompong adalah binatang yang tidak berguna dan menjijikkan. Namun apabila kita melihat satu siklus hidup, ternyata kita bisa melihat keindahan dan keagungan Tuhan lebih besar lagi.

    Ketika seorang teman berubah sikap kepada kita. Lebih dingin, lebih cuek, lebih galak. Apakah respon kita?

    Kita bisa saja cuek ataupun apatis. Kita bisa juga marah atau ikut kesal karena perubahannya. Satu hal yang jangan pernah kita lupa, adalah “Sejauh mana perubahan tersebut mengganggu ketenangan hati kita?”

    Ketika kita mulai terasa terganggu, kita bisa mengemukakan kepada teman kita yang berubah sikap. Mengapa dia berubah, adalah hal yang perlu kita tanyakan. Dan apakah kita bisa menerima perubahan tersebut. Merupakan suatu pilihan.

    Banyak relasi yang hilang karena salah satu pihak tak bisa mentoleransi perubahan pihak lain. Sebagian relasi tersebut hilang karena tiada komunikasi akan perubahan pihak lain tersebut.

    Yang terpenting, perubahan orang lain menghantarkan kita pada suatu perkembangan. Atau bisa jadi pembelajaran. Ketika suatu relasi hilang karena perubahan sikap salah satu pihak, maka di situlah terdapat pembelajaran. Namun ketika suatu relasi bertahan meskipun perubahan sikap terjadi pada salah satu pihak, maka di situlah terjadi perkembangan komunikasi dan toleransi.

    Either you succeeded or you learn, the best is yet to come

    Manajemen (ekspektasi) perubahan bukan suatu ilmu mentah. Ini adalah ilmu hidup yang harus kita kuasai karena alam semesta ini didesain bukan untuk sebuah stagnansi atau keadaan yang tetap.

    Orang,

    Cuaca dan iklim,

    Kondisi geografis lingkungan

    Dan semua aspek dalam dunia ini melibatkan adanya perubahan.

    Terus ingin belajar, ingin memahami, dan ingin beradaptasi adalah kunci pertahanan di setiap perubahan apapun yang kita alami di hidup ini.

    Jadi sudahkah kita belajar mengelola perubahan tersebut?

    Kesepian Walau Sedang Online

    Pernahkah teman-teman mengalami suatu hari di mana tayangan di TikTok lebih mengasyikkan, dibanding kehidupan yang kita sedang alami?

    Mungkin banyak yang kita alami di kehidupan : dimarahi boss, kehilangan uang, berantem sama pasangan, dibentak orangtua, kalah bermain mobile legend, tidak diterima pekerjaan, atau hal buruk lainnya.

    Kita mencari pelarian ke bentuk yang lain, misalkan posting foto-foto kita yang bagus ke Instagram, menonton video lucu, komentar di salah satu akun yang sedang viral. Seakan semua hal kita lakukan untuk mencari atensi publik. Begitu hal tersebut tidak memenuhi ekspektasi kita, kita kecewa dan  merasa kesepian.

    Dahulu, aku sempat mengira jumlah likes, jumlah komentar dan tanggapan positif suatu post adalah tolok ukur dari sebuah kualitas diri dan pengakuan diri. Hingga suatu hari aku sempat menyesalinya.

    Aku kira, terus melakukan posting atau aksi di sosial media demi mendapatkan pengakuan adalah hal yang tepat. Sampai di suatu titik kehidupan, aku mengetahui itu hal yang kurang tepat.

    Bersosialisasi di Dunia Maya

    Kita mungkin bangga akan komunitas, teman-teman daring kita, dan prestasi dunia maya kita seperti jumlah likes, viewers dan subscribers. Tetapi jangan pernah lupa, kalau kita ini manusia yang setara dengan siapapun di hadapan Tuhan.

    Sebagian dari kita mungkin merasa sosial media adalah pelarian yang baik. Kita bisa membuang persona dan identitas dunia nyata kita. Kita bisa menjadi apapun yang kita mau di jagad nyata. Sampai-sampai kita menggunakan cara tersebut dan melanggar etika kita berkomunikasi. Kadang kita galak dengan orang yang tidak pernah kita jumpai, ataupun menjadi terlihat gagah dan kuat dengan segala berdebat.

    Mari kita luruskan kembali, bahwa dunia maya bukanlah jagad tempat kita hidup (kecuali kita konten kreator atau social media analyst. Bahkan mereka juga butuh dunia nyata)

    Terlepas dari kita kesepian atau hari-hari kita sedang buruk, kita ini harus selalu ingat untuk menjaga sopan santun kita saat berkomunikasi dengan orang lain.

    Jangan terus menerus mengisi hati orang lain yang kita tak tahu kapan penuhnya

    Mengisi hati orang lain, sama seperti mengisi sebuah teko yang bocor dengan air sumur yang mengering. Kita hanya bisa menunggu waktu sampai kita kelelahan, energinya habis, dan semua itu tiada berhasil.

    Kita tak akan pernah bisa menyenangkan hati semua orang. Sebagus apapun kita, akibat satu kesalahan maka kita akan terkesan salah di mata orang lain.

    Dengan kita mengharapkan postingan kita mendapatkan likes, views, dan shares, sebenarnya kita sedang berusaha memuaskan hati orang lain. Apabila itu tidak berhasil, maka kita akan kosong dan energi kita terbuang.

    Apa yang kita cari dengan membuat postingan? Apakah kita ingin berbagi? Apakah kita ikhlas jika metrics kita jelek? Apakah kita selalu ingin belajar untuk membagikan postingan yang bermanfaat?

    Jika kita menjawab ya untuk pertanyaan-pertanyaan di atas, maka kita sudah mengubah mindset kita untuk mengisi diri kita terlebih dahulu, sebelum mengisi hati orang lain.


    Kesepian itu masalah serius. Jangan sampai kesepian menghantarkan kita kepada percobaan untuk mengakhiri segalanya. Kendati begitu, bukan berarti saat kita kesepian, kita bisa menjadi apapun di Internet.

    Saat kesepian, penting untuk mengetahui sumber kesepian, serta mencoba mencari sumber-sumber kebahagiaan untuk menambal ruang hati kita. Cobalah untuk mengisi diri kita terlebih dahulu.

    Dengan demikian, kita tidak terus menerus mencari kebahagiaan di luar, melainkan mencoba mencarinya di dalam hati kita terlebih dahulu.

    Perjalanan Penulis Inspiratif

    Sebut saja Andito. Seorang lelaki yang gemar menulis sejak SD ini memulai perjalanan menulisnya dengan menulis cerita di buku harian. Andito memiliki teman bernama Benito. Ia juga suka menulis, namun sebatas mendapatkan tugas menulis atau ujian di sekolah. Benito menunjukkan performanya dalam setiap tugas dan ujian yang diberikan, dengan mendapatkan skor tertinggi.

    Andito terus mengembangkan kemampuan tulis-menulisnya hingga SMA dan membuat blogspot pribadinya. Sementara Benito mengemukakan gagasan kepada Andito, bahwa suatu hari ia akan menjadi penulis profesional. Saat itu Andito bertanya kepada Benito, apakah dia akan menulis di buku atau menulis di blog. Benito menjawab. Dia akan membuat blog di suatu hari nanti.

    Andito terus mengembangkan diri dengan membuat beberapa artikel blog yang bermanfaat. Andito terus menulis hingga bangku kuliah. Di kuliah, dia membuat berbagai cerpen dan memoar penuh makna di blog. Benito mengagumi hidup Andito, dan dia mendukung Andito untuk terus menulis. Benito akan mengikuti jejak Andito suatu hari nanti.

    Saat bekerja Andito mulai serius dan mengeluarkan banyak uang untuk hobby menulisnya. Andito membuka website pribadi di wordpress dengan domain .com. Ia terus dan terus mengisi artikelnya secara professional. Dia mendaftarkan dirinya pada lomba blog, kompetisi menulis, dan proyek menulis buku. Dia mendaftarkan komunitas kepenulisan, dan aktif sebagai guru maupun mentor di sana. Benito bergabung ke dalam komunitas yang sama seperti Andito. Dia terus belajar dari Andito dan orang-orang lain.

    Dia ingin menebar ilmu untuk banyak orang, dia ingin menginspirasi dan menyentuh hati banyak orang. Maka Andito menciptakan buku. Ia mulai menerbitkan buku, tahun demi tahun. Ia mulai merambah ke banyak bidang : self-development, teknik, keuangan, pemrograman, hingga pertanian. Ia terus belajar, memperdalam kemampuannya, menulis, dan membagikannya. Benito juga ingin dan berniat menjadi seperti Andito suatu hari nanti. Ia ingin menerbitkan buku. 

    Di akhir hayat, Andito beristirahat dalam damai Tuhan dengan meninggalkan ratusan buku fisik, e-book, dan artikel di jagad maya. Ilmu-ilmu Andito masih hidup sampai beberapa dekade ke depan, karena berbagai kursus daring maupun luring yang dia ajarkan pada orang-orang di sekitarnya. 

    Benito berbeda dengan Andito. Di akhir hayatnya Benito sempat menyesali mengapa dia tidak mulai menulis dan menciptakan karya, sampai akhirnya dia meninggal dunia.

    Apakah kita cenderung seperti Andito, atau kita seperti Benito? 

    Pertanyaan ini tidak perlu dijawab langsung, karena hati kita masing-masing yang dapat menjawab. 

    Dalam contoh di atas, Andito selalu bergerak maju dan melakukan tindakan. Andito membuat setiap rencana yang dia rumuskan menjadi kenyataan. Andito menyusun tangga-tangga kecil untuk mencapai tangga yang lebih besar. Dia menjadi penulis inspiratif di akhir hayatnya dengan sekumpulan tindakan, dan dari tindakan itulah orang memandang Andito dan tergerak hatinya untuk ikut berkarya. Lalu bagaimana dengan Benito?

    Jangan salah, Benito memiliki sikap yang baik. Dia tidak iri kepada temannya, Andito. Paling tidak itu cukup untuk menjadi modal dalam berkarya, tidak membandingkan satu sama lain. Benito juga memiliki kemauan dan niat yang baik, kalau suatu saat dia akan menulis dan menerbitkan karya. Namun, Benito kurang melakukan tindakan. Benito tidak membuat mimpi-mimpinya jadi nyata dengan satu tindakan kecil yang berdampak besar. Benito mau belajar, tetapi kurang menunjukkan implementasi nyata dari apa yang dia pelajari.

    Penulis Inspiratif tercermin dari tindakan, bukan hanya setumpuk rencana. Penulis inspiratif adalah mereka yang mengubah wacana menjadi rencana. Dan mereka yang mengubah rencana menjadi realita. Melambungkan asa setinggi angkasa, dan menghujani dunia dengan mimpi yang jadi nyata.

    Aku, kamu, dan kita semuapun bisa menjadi penulis inspiratif itu. Sebuah saran: kita dapat melakukan lebih banyak dibanding merencanakannya.

     Jadi, sudahkah kita semua melakukan lebih banyak, seperti Andito yang melangkah maju sampai ke tujuannya?

    Yang Terpenting Implementasi, Bukan Basa-Basi!

    Biasa aja dong judulnya. Tidak usah ngegas.

    Memang bukan ngegas. Karena inti pesannya adalah boleh membuat wacana, membuat rencana, tetapi jangan lupa implementasinya.

    Dalam konteks rencana bisnis di kuliah Strategic Management yang kuikuti, terdapat tahapan dalam perencanaan, seperti yang kita ketahui dalam siklus PDCA (Plan – Do – Check -Action).

    • Plan, tahapan ini disebut merumuskan strategi atau rencana bisnis. Di sini, semua hal yang berkaitan dengan pembentukan strategi dibuat. Bisa diperinci sebagai berikut: pembentukan visi dan misi, membuat rencana jangka panjang perusahaan, dan memilih serta mengevaluasi strategi
    • Do, tahapan ini berisi implementasi strategi bisnis yang meliputi seluruh lini dalam perusahaan. Mulai dari management, hingga mencapai kepada divisi divisi marketing, finance, accounting, RnD, production
    • Check, memeriksa implementasi rencana yang sudah berlangsung. Biasanya dengan mengukur dan mengevaluasi performa rencana yang sudah berjalan. Diikuti dengan audit internal dan eksternal.
    • Action, kembali melaksanakan rencana yang sudah dievaluasi sehingga mencapai sasaran dan tujuan perusahaan.

    Sekilas, tahap perencanaan adalah yang terpenting, karena melibatkan 3 step: pembentukan visi dan misi, pembuatan rencana jangka panjang perusahaan, memilih strategi yang tepat. Namun yang terpenting adalah implementasi dari strategi tersebut.

    Dalam perusahaan atau dalam bisnis, aku tidak menyukai meeting yang berlebihan. Notabene, rapat berlebihan itu yang melebihi 90 menit. Karena hal itu akan menurunkan produktivitas kerja kita. Di samping itu, terlalu banyak rencana tanpa eksekusi, tidak akan merubah hasil di lapangan.

    Dari contoh sederhana ini (sebenarnya tidak sederhana karena ini spesifik), kita bisa melihat bahwa, semua rencana dan semua strategi yang dibuat hanyalah omong kosong, apabila tanpa implementasi yang jelas di semua lini bisnis.

    Semua rencana akan jadi basa basi belaka apabila tidak diimplementasikan dengan baik.


    Dalam konteks main dengan teman, tentu saja kita punya siklus PDCA yang baik.

    • Plan. Bisa dipahami dalam ilustrasi berikut.
      A: “Sabtu besok, kita main yuk.”
      B: “Hayuk, jam berapa?”
      A: “Jam 16.00, bisa gak?”
      B: “Kesorean, jam 15.00 abis ashar aja gimana?”
      A: “Oke gasken.”
      Di titik ini, kedua belah pihak menyepakati, bahwa rencana main bareng adalah Sabtu, jam 15.00.
    • Do: Di tahap ini, orang A dan B akan datang tepat waktu di jam dan hari yang ditentukan. Tetapi singkat cerita, si B terlambat datang. Ia baru datang 15.30.
    • Check: Orang A dan B sepakat untuk bertemu lagi di hari yang lain. Sadar karena B memiliki agenda pukul 14.00-15.00, maka B tidak bisa datang tepat waktu pukul 15.00. B mengetahui, bahwa ia bisa datang pukul 15.30.
    • Action: kedua belah pihak bermain bersama dengan waktu yang telah disepakati.

    Tujuan dari dialog di atas adalah, mengadakan acara meetup di hari Sabtu, pukul 15.00. Tujuan bersama kedua belah pihak menjadi tidak tercapai apabila salah satu pihak mengalami keterlambatan datang. Oleh karena itu, di waktu yang lain di hari yang sama, B memutuskan untuk menggeser waktu temunya menjadi 15.30.

    Apabila salah satu pihak membatalkan acaranya sepihak, maka tujuan acara tidak jadi tercapai. Hal ini menyebabkan, semua rencana hanyalah basa basi belaka.

    Itulah pentingnya implementasi dibandingkan rencana. Karena implementasi menghantarkan kita mencapai tujuan. Dan implementasi juga merupakan perpanjangan tangan dari rencana. Rencana sendiri tak mampu menggapai tujuan tanpa implementasi yang mendukung, terstruktur, dan jelas.

    Namun, implementasi memerlukan dukungan seluruh pihak. Bayangkan dalam kasus di atas, satu pihak saja yang membatalkan saja bisa membatalkan tujuan bersama. Apalagi jika keduanya memutuskan untuk batal? Maka pertemuan mereka tidak akan terjadi, sehingga tujuan bersama tidak akan pernah tercapai.

    Kalau konteksnya adalah perusahaan, maka tim kerja memerlukan support dari management, dan management memerlukan support dari bawahan. Bayangkan, apabila ada staff yang tidak menyepakati implementasi rencana tersebut. Maka semua tujuan yang dirumuskan manajemen akan mengalami sia-sia.

    Sudahkah kita mencoba untuk melakukan implementasi rencana kita, agar tidak sekedar basa basi belaka?

    Tindakan vs Rasa Takut, Mana yang akan Menang?

    “Ayo Damar, sedikit lagi”, kata Mario temanku menyemangati.

    “Dikit lagi Mar, jangan nyerah di tengah terus jatuh,” kata Aquino.

    Perjuanganku melewati titian tali sepanjang 5 meter itu sulit sekali. Kendati begitu, langkah kaki kecilku tak mudah menyerah. Walaupun aku hanya anak kelas 5 SD, akan kuhadapi semuanya. Tentu saja tanpa menangis. Akan kulewati jembatan tali tambang ini hingga aku sampai ke pos seberang.

    Keringatku mengucur deras. Tangan dan kakiku gemetaran. Aku tidak mau dipandang sebagai pengecut hanya karena aku menyerah dari permainan titian tali ini. Menyeberangi tali tambang raksasa dengan alat pengaman dan hanya bermodalkan tali gantung dengan jarak satu meter, bagiku ini hanyalah secuil kecil dari neraka.

    Tapi aku merasa, titian ini panjang tak terhingga. Berapa lama aku di sini? Satu jam? Seharian? Kurasa yang hanya bisa kulakukan adalah terus berjalan sedikit demi sedikit.

    Aku tahu aku takut, tapi di sini tidak ada Ibuku. Di sini hanya ada mama temanku, dan teman-temanku. Aku tidak bisa menangis dan memeluk orang asing, benar kan? Tapi entah kenapa yang aku rasakan adalah rasa takut yang luar biasa.

    Kepalaku kuputar ke bawah dan aku melihat jaring putih membentang, dari ketinggian sepuluh meter ini. Apakah kalau jatuh aku akan mati? Atau apakah aku akan cedera dan masuk rumah sakit?

    Kurasa tidak. Itu hanya asumsiku belaka. Aku memandangi kawat sling ini dan sepertinya kawat ini masih sanggup menahan beban anak kelas 5 SD, tidak termasuk beban ekspektasi kedua orangtuanya. Hehe, bercanda.

    Kupandangi lagi jalanan di depan. Sepertinya aku hanya berjarak 2 meter lagi untuk sampai pos seberang. Aneh, aku sudah melewati setengah jalan ternyata. 

    “Sudah” atau “baru”? Karena aku merasa sudah berjam-jam berlalu di sini. Yang bisa kulakukan cuma menggeser sepatu sandalku dengan merek HomyPad, inchi demi inchi. Benda itu bergeser di tali tambang dengan kasarnya. Pertanda bagus aku tidak akan jatuh terpeleset ke bawah jaring. Lagipula ini permainan kan? Kalau aku kalah, lalu kenapa? Aku tidak akan di -drop out dari sekolah. Paling-paling cuma ditertawai teman-teman hingga lulus nanti.

    Sorak sorai dari kawan-kawan semakin menderai. Aku yang kelelahan, berdebar-debar, dan berkeringat mulai sedikit tersenyum. Aku jarang tersenyum ketika menghadapi kesulitan.

    Aku percaya aku bisa melewati neraka kecil ini. Dalam hati kecilku, aku sudah kepingin pulang sejak tadi. Bahkan ingin tidur di dalam selimut. Namun, tiada petualangan yang aku rasakan tanpa adanya semangat mengambil risiko. Ibuku pasti melindungiku kalau tahu ada permainan menantang ini. Namun ibuku mempercayakan aku kepada Bu Lina, mama dari temanku, Dita. Beliaulah yang mengundang kami semua dalam Outbond bersama geng bermain kami.

    “Ya! Aku hampir sampai,” kataku sumringah melihat tali tambang yang kini hanya 1 meter jaraknya dari pos ujung. Para petugas Outbond sudah bersiap siap melepas Safety Harness milikku. Mereka juga memberikan semangat. Terikan kawan-kawan semakin kencang.

    “DAMAR! DAMAR! DAMAR!” pekik penonton semakin kencang. Ini bukan perlombaan. Bagiku ini hanya bentuk penyemangat karena tidak semua orang mampu melewati neraka kecil seperti ini. Sebentar, neraka itu jahat dan kejam kan? Apakah aku merasa tersiksa dengan melewati titian tali tadi?

    Dengan jarak 40 cm dari ujung pos, aku melompatkan kakiku ke pos penjagaan. Aku ketakutan bercampur gemas. Aku ingin segera menyelesaikan permainan ini, namun di dalam hati aku juga takut. Bagaimana kalau aku jatuh di atas jaring atau para petugas lupa menarik badanku, dan aku terjatuh di atas tanah tanpa pengaman?

    Kumpulan skenario palsu itu hanya jadi imajinasiku. Dengan diriku mendarat kini di pos seberang, detak jantungku kembali normal dan aku menyeka keringatku dengan leluasa.  Puji Tuhan semuanya lancar dan baik.

    ***

    Dari cerita pengalaman nyata di atas, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil:

    – Tindakan, walaupun sangat kecil, apabila konsisten dilakukan akan mencapaikan kita pada tujuan

    – kita tak bisa merasakan takut, jika kita terus bertindak. Sebaliknya. Kita akan akan terus merasakan takut jika kita tidak bertindak.

    – kumpulan skenario palsu hanyalah imajinasi belaka. Ada kalanya pengambilan risiko harus dilakukan, agar kita bisa mencapai tujuan lebih cepat. Hanya membayangkan skenario terburuk tanpa memutuskan, sama saja menunggu waktu terus berjalan tanpa menghasilkan apapun.

    Anggaplah dunia ini atau mungkin dunia usaha sama seperti bermain outbond, titian tali. Dengan manajemen risiko dan langkah yang tepat, kita bisa mencapai tujuan organisasi.

    Tak hanya usaha, mungkin juga dunia perkuliahan, dunia anak sekolah, dunia orang berkeluarga. Dunaiku, dan duniamu.

    Lantas, tindakan dan rasa takut bila diadu siapa yang menang?

    Jawabannya, tentu saja yang mana yang kita perjuangkan. Bila kita mengupayakan terus membuat tindakan, maka rasa takut akan hilang perlahan. 

    Bila kita diam, duduk, dan rasa takut menelan kita, maka tidak ada tindakan yang bisa dilakukan.

    Jadi, sudahkah kita bertindak untuk melawan rasa takut kita?

    Kreativitas dan Kepuasan Hati

    “Kamu kurang kreatif. Jadi anak itu harus kreatif!”

    Begitulah kata salah seorang dalam hidup, yang mengkritik caraku belajar di sekolah dulu. Aku cenderung menghapal mati isi buku cetak dan catatan yang aku punya, sehingga ketika ujian aku bisa mengeluarkan jawaban yang tepat sasaran, titik dan komanya.

    Dengan begitu, aku bisa mendapatkan nilai maksimum (100). Benar kan?
    Benar-benar salah, mungkin?

    Well, aku rasa menjadi pintar, sempurna, dan mendapatkan skor penuh adalah hal yang baik. Namun bukan segalanya.

    Karena seiring berjalannya waktu di kehidupan, menjalani hidup secara kreatiff jauh lebih penting daripada secara menjalani hidup secara pintar, namun kaku.

    Mengapa menjadi kreatif lebih penting?
    Karena dengan menjadi kreatif, kita bisa lebih fleksibel. Kita mampu menyelesaikan masalah dalam kondisi sesulit apapun.

    ***

    Seiring berjalannya waktu, aku menggunakan kreativitasku dalam belajar. Aku mulai membuat mind mapping. Aku mewarnainya dan menggambar animasi seperti kartun untuk membantuku mengingat.

    Aku merekam suaraku, dan aku memutarnya sebelum tidur. Aku juga memperagakan cara aku belajar kepada orang lain, sambil mengajari mereka.

    Kreativitasku kian tumbuh ketika aku bisa menjawab soal ujian tanpa mementingkan “kesesuaian teks dengan buku cetak.” Aku hanya mengambil esensi pembelajaran. Dengan begitu, aku bisa mengembangkan kreativitasku untuk hal-hal lain. Misalkan menggambar, atau bermusik. Dengan demikian waktu luangku menjadi bermanfaat. Tidak hanya berisi kumpulan pelajaran sekolah.

    ***

    Saat aku kuliah , aku masih mendalami dunia Desain. Aku menggambar di Corel Draw dan mengedit foto di Photoshop. Aku mulai membuat beberapa desain instagram yang menarik. Di sini kreativitaspun semakin terasah.

    Ketika aku bekerja, aku memperdalam terus dunia desain dengan membuat desain di Canva. Aku merapikan feed instagramku, dan aku membuat suatu desain posting pengetahuan. Itulah caraku menyalurkan minat dan bakatku di waktu luang setelah bekerja.

    ***

    Kreativitasku aku tumbuhkan sendiri di beberapa bidang: Musik, Olahraga, Menggambar, mencipta, ataupun dalam menulis. Aku selalu mencoba hal-hal baru, mengerjakan hal-hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya.

    Selain menambah kemampuan kognitifku, aku juga menambah kemampuanku secara motorik.

    Aku tidak hanya belajar untuk menjadi problem solver handal, namun juga aku belajar bagaimana cara memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Aku belajar untuk mengisi hidupku dengan banyak warna. Selain itu, aku juga bisa keluar dari rutinitas yang membosankan.

    Menjadi kreatif bukan hanya memberi bunga pada jalan kehidupan.
    Menjadi kreatif artinya mengisi ruang-ruang hati yang rumpang, sehingga kita mengalami kepuasan hati.

    Jadi PNS atau Jadi Diri Sendiri?

    Judulnya semi-clickbait. Tanpa mengurangi rasa hormat untuk semua PNS di Indonesia, kuharap pesan artikel ini sampai ke hati kalian. Yang dimaksudkan adalah : Jadi sesuai kemauan orang, atau jadi diri sendiri?

    Mengapa beberapa mama dan papa di Indonesia ini menginginkan anaknya untuk menjadi PNS?

    Mengapa beberapa mama dan papa di Indonesia ini mengharapkan anaknya kerja di BUMN?

    Mengapa beberapa mama dan papa berharap anaknya kuliah di kampus negeri?

    Kalau kita melihat perkataan tersebut, mungkin kita bisa simpulkan ke pertanyaan besar: mengapa orang-orang cenderung mengikuti “jalur orangtua”, tanpa mengikuti hasrat dari jiwa?

    Bukankah orangtua juga manusia? Yang bisa saja salah? Bukankah berbakti kepada orangtua tidak harus mengikuti setiap kemauan dan hasratnya?

    Aku terlahir di keluarga yang sederhana. Alias menengah secara ekomomi. Sepanjang usia, aku tak pernah lepas dari petuah sang ayahanda dan ibunda. Aku bisa dibilang “cukup tertata” dalam menghadapi jenjang pendidikan. SD, SMP, SMA dan Kuliah.

    Namun ketika aku bekerja, aku sulit menentukan pilihan. Aku merasakan bahwa selama ini hidupku terlalu diarahkan. Dan aku tak mengerti apa yang diri ini inginkan.

    Beberapa temanku sama nasibnya denganku. Mereka tumbuh besar di keluarga yang latar belakangnya hampir sama. Mereka juga diarahkan dan ditata masa depannya. Dan mereka juga bingung akan setelah ini ke mana.

    Banyak yang terjebak dalam pekerjaan yang membosankan, bertahun tahun. Banyak yang terjebak di dunia tikus balap tanpa akhir.

    Itulah realitas pahit kehidupan. Kita menjadi sulit mengerti keinginan diri ini ketika kita cenderung “disetir” dari awal. Orangtua hanyalah papan penunjuk jalan, bukan setir kemudi. Hidup kita tak akan berhenti apabila kita menghidupi jalan hidup sendiri.

    Jadi PNS itu tidak salah, sama sekali.

    Jadi apapun yang orangtua inginkan juga tidak salah.

    Namun, pertanyakan kembali, apakah diri ini benar-benar menginginkan hal tersebut? Apakah diri ini siap menjalaninya?

    Apakah keinginan tersebut letaknya dari dalam?

    Dan apakah kita siap dengan segala konsekuensinya?

    Lantas, pertanyaan besarnya: jadi diri sendiri yang otentik, atau jadi kemauan orang lain?