Era digital dan tantangan self-discovery

Sebut saja Albert, seorang pekerja kantoran penuh waktu (08.00-17.00). Selepas jam kerja normal, alih-alih pulang ke rumah dan melanjutkan pekerjaan, dia lebih suka bekerja di kantor hingga jam 20.00 atau 21.00. Sesampainya di rumah, dia tidak langsung tidur melainkan menghabiskan waktu di depan gawai digital : telepon pintar. Setelah menghabiskan waktu sekitar dua jam, dia baru beristirahat.

Keesokan paginya, Albert kembali memeriksa telepon genggam setelah selesai beribadah pagi. Ia membuka Instagram hingga pukul tujuh, dan kemudian mandi serta sarapan. Ia kembali masuk ke kantor dan bekerja mulai pukul 8.00. Siang hari saat makan, dia memeriksa gawainya dan menonton YouTube. Selesai makan siang, dia melanjutkan pekerjaannya hingga pukul 21.00

Dan siklus tersebut berulang : harian, bulanan, tahunan, bertahun-tahun. Hingga kini dia memiliki dua anak.


Cerita tentang Albert mungkin saja tidak terjadi di dunia fiksi, karena artikel ini adalah artikel non-fiksi. Jangan-jangan, kita semua pernah atau sedang menjadi Albert?

Karena itulah, mari mengenal suatu istilah:

Kebiasaan Digital

Pernahkah kita mengatur diri, kapan kita melihat ponsel untuk membuka Instagram, X, E-mail, YouTube, TikTok, dan aplikasi lainnya?

Tak usah berbicara “produktivitas”, pernahkah kita (iya kita, maksud saya kamu dan aku) mengatur kapan harus membuka aplikasi tersebut, dan kapan harus menutupnya?

Dalam konteks Albert, ia tidak mengatur kebiasaan digital dirinya, sehingga sosial media-lah yang mengatur hidupnya.

Keberadaan aplikasi browser, media sosial, e-mail, dan fasilitas streaming video memang memudahkan kita untuk mengakses informasi. Namun …

… bukan berarti karena mudah, kita harus mengakses aplikasi tersebut setiap saat.

“Bisa”, atau “mudah”, bukan berarti harus. Oleh karenanya kita perlu mengatur kebiasaan digital, agar kita tidak…

Kehilangan koneksi diri

Albert sudah menjadi contoh bahwa ia telah kehilangan koneksi dengan dirinya sendiri. Bayangkan, kita semua pernah punya mimpi untuk melakukan sesuatu: ambil kursus, kuliah lanjut, memancing di suatu tempat, berkeliling, mencoba makanan baru, dan mengunjungi saudara. Tetapi itu semua tidak pernah terwujud? Atau jarang sekali terwujud?

Pernahkah kita memikirkan hidup kita, masa depan kita, diri kita saat ini, masa depan orang yang kita cintai, perasaan mereka setiap hari, dan hal-hal penting lainnya?

Teman-teman, itulah koneksi diri.
Setiap orang termasuk kamu dan aku yang membaca tulisan ini, punya hubungan dengan diri sendiri. Apakah hubungan kita sudah baik dengan diri sendiri?

Sudahkah kita self-reward atas semua pencapaian?
Ataukah, sudahkah kita berempati terhadap kesalahan yang dilakukan agar berhenti mengutuki diri?
Dan sudahkah kita kenal diri sendiri sepenuhnya?

Self-discovery dalam era digital

Kita tidak bisa membendung pertumbuhan teknologi yang begitu cepat.
Pun begitu, kita juga tidak bisa melupakan tugas utama kita yaitu untuk mengenal dan menemukan diri.

Dua tajuk sebelumnya masih berhubungan. Kita bisa simpulkan dengan kalimat pendek berikut:

Mengatur kebiasaan digital dengan baik, akan membuat kita lebih mengenali diri.

Jika Albert bisa membatasi dirinya mengakses media sosial, mungkin Albert bisa mencoba restoran baru di kotanya. Ataupun dia juga bisa memancing ikan di suatu perairan tawar. Dan dia juga bisa mengasah skill baru yaitu pertamanan dan perkebunan.

Hidup Albert akan lebih bermakna, dan Albert akan menemukan dirinya yang utuh.

Bagaimana caranya membatasi diri dalam mengakses media sosial?
Tentu saja dengan membuat batasan spesifik, berapa jam atau jam berapa media sosial dapat diakses?

Misal, saya hanya bisa mengakses YouTube pada hari Minggu, jam 12.00-14.00. Selain itu, Instagram, setiap hari pada pukul 17.00-18.00. Kita bisa berkomitmen pada diri sendiri, dan membuat sanksi apabila kita melanggar.

Ada lagi cara yang lebih menyenangkan, yaitu menggunakan aplikasi bantuan di IOS maupun Google Play. Saya sendiri menggunakan Stay Focused karena mudah digunakan dan fiturnya lengkap.

Selain membatasi akses dengan media sosial, penting adanya untuk memaksimalkan fungsi media sosial. Misalkan: membangun personal branding yang baik agar akun kita menjadi berbobot. Atau membagikan kabar sukacita entah itu kabar gembira ataupun artikel positif.

Apabila kita hendak mengkonsumsi konten, coba pikirkan kembali apakah konten tersebut pantas untuk dikonsumsi secara sering. Apakah akan lebih banyak manfaat atau mudharatnya?

Terus konsisten dalam melakukan posting maupun mengkonsumsi konten yang berfaedah, akan meningkatkan kualitas diri kita. Saat itulah terjadi self-discovery yang bermakna.

Manfaat self-discovery di era digital.

Kita hidup di era digital, dan akan terus hidup hingga akhir hayat kita.
Apabila kita tidak mampu hidup memaksimalkan sarana daring seperti media sosial, kita akan terus dimanfaatkan oleh sarana tersebut. Maka izinkan saya memberi pepatah:

Aturlah media sosial, sebelum mereka mengatur hidupmu.

Cobalah untuk berkaca dari peristiwa Albert. Maukah kita menjadi Albert? Yang hidupnya mulai dikendalikan media sosial? Ataukah kita bisa merubah kebiasaan digital dan mulai membentuk hidup kita.

Dengan menemukan diri (self-discovery) di era digital, kita jadi mudah menggunakan sumber daya yang ada, dalam memaksimalkan potensi diri. Dengan demikian, kita akan terintegrasi dengan perkembangan zaman sehingga kita bisa mengalami pertumbuhan diri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *