Luka dan Trauma serta Cara Melepaskannya

Dari judulnya saja, kelihatannya sebuah tips dan trik jitu. Sebenarnya tidak jitu-jitu amat sih. Ini adalah suatu cerita pengalaman, dan sharing pribadi mengenai bagaimana aku bisa hidup untuk hari ini dan seterusnya, dan keluar dari bayang-bayang masa lalu.

Luka dan Trauma memang tidak bisa dipisahkan dari masa lalu. Setiap orang, punya masa lalu yang suram terlepas dari mereka baik atau jahat. Semakin lama aku hidup di dunia, semakin aku sadari bahwa pribadi manusia tidak ada yang sempurna. Dalam kebaikan, ada kejahatan. Dalam kejahatan, ada kebaikan. Itulah kehidupan.

Aku pernah mengalami kepahitan hati setelah mengingat-ingat orang yang pernah melukaiku. Mulai dari orangtua, sahabat, teman, mantan, atau atasan kerja. Mereka semua orang yang baik, hanya dalam satu atau dua kondisi, mereka menebarkan luka ke arahku.

Setiap kali aku mengingat wajah mereka, rasanya aku amat sangat terluka. Aku tercabik-cabik, dan ingin merobek-robek wajah mereka.

Tak sobek-sobek mulutmu. (Seperti Tukul Arwana)

Faktanya, emosi itu datang dan pergi. Semakin aku memendamnya, semakin pula ia bergerak ingin keluar. Dan saat dia keluar di saat tak terduga, di situlah aku bisa menjadi monster yang amukannya luar biasa.

Perjalanan “sembuh” seseorang berbeda-beda. Dan tentunya luka itu datang dan pergi. Kadang ia memasuki ruang-ruang angan, bilik hati. Kadang pula ia pergi jauh, sejauh mungkin.

Yang terpenting, adalah bagaimana caranya kita menerima perasaan tersebut. Menerima bahwa diri ini terluka, dan kecewa. Sakit hati, dan sedih. Kita harus ingat bahwa dalam pelaksanaannya, proses penyembuhan itu berputar seperti pusaran air. Kadang kita terluka, kadang kita sembuh.

Yang kita lakukan adalah memerhatikan pusaran tersebut, hingga hilang. Kita tidak perlu melawan, kita hanya perlu mendengarkan jeritan hati terdalam kita.

Menerima berarti melepaskan. Melepaskan bukan menentang dan menolak segala bentuk emosi negatif. Kita hanya bisa menerimanya, dan membuatnya pergi sendiri.

Kendati begitu, efek trauma sangat dahsyat. Bisa membuat orang menyakiti fisik dan mentalnya. Ini bisa kita atasi dengan cara duduk tenang, dan mendengarkan seluruh jeritan hati kita sambil menulis. Proses ini disebut jurnaling.

Dalam kasus-kasus khusus, kita harus meminta bantuan profesional ketika diri ini tidak sanggup lagi. Dunia diciptakan bukan cuma untuk sendiri, tetapi untuk bersama. Itulah sebabnya kita butuh mereka: para Psikolog Klinis.

Pada akhirnya, segala luka dan trauma hanya anugerah sementara kita hidup di dunia, sebelum merasakan kebahagiaan kekal di Surga. Dalam prosesnya, kita bisa saja menerima, kita bisa saja menentang.

Saat kita berkeinginan untuk membalas dendam atau melukai orang lain karena diri kita sempat terluka, ingatlah bahwa kita bisa hidup tanpa luka.

Kita bisa memilih untuk tetap menebar kebahagiaan. Dengan begitu, akan lebih banyak orang menyadari anugerah hidup mereka.

Ketika kita teringat akan luka, maka kita juga harus ingat bahagia. Ketika kita teringat akan trauma, kita harus ingat bahwa ada sukacita.

Akan ada secercah sinar mentari untuk hari-hari esok yang cerah dan penuh pengharapan. Pasti ada masa depan yang cerah, untuk pribadi kita masing-masing yang penuh luka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *