(Lagi di mobil, maaf kalau nggak nyambung antar paragraf)
Sebuah keyakinan personal timbul dari kemantapan hati dan nurani. Bukan timbul dari pujian ataupun pengaruh eksternal.
Faktanya, keyakinan personal tidak tumbuh begitu saja, tetapi tumbuh dari alam bawah sadar dan pengalaman masa kecil.
Misalkan, aku punya tendensi bekerja secara sendiri alih-alih bekerja dalam tim. Maka sering stress kalau mendapatkan tim kerja yang tidak professional dan kurang ambisius. Lebih baik bekerja sendiri lalu submit hasilnya. Sebaliknya, kalau mendapatkan tim kerja yang sat set dan profesional saya jadi semangat bekerja.
Keyakinan itu didasari atas dasar performa kerja sendiri di masa lalu yang lebih baik daripada performa lingkungan sekitar. Ini adalah salah satu hal yang buruk.
Mari kita cerita sedikit mengenai pekerjaanku di kantor. Pekerjaanku adalah pekerjaan tim. Aku lebih banyak mengoordinasikan dibanding “hands-on” langsung dengan kerjaan di lapangan. Apabila aku kedapatan tim yang hebat, kerjaanku sangat sangat enteng. Tetapi apabila kedapatan tim yang jelek, maka aku akan jadi sangat stress dan bahkan pekerjaanku lebih banyak.
Aku adalah orang yang sangat “pushing”, “demanding” dan tentunya forcing others to join the line alias “pokoknya manut saya saja”. Di sisi lain watakku ini tumbuh dari parenting ayah. Yang melahirkan watak keras kepala dalam diriku.
Di satu titik kehidupan, kusadari bahwa aku haus dengan pujian dan validasi. Aku terus dan terus menyenangkan orang lain hingga mereka mau menerimaku. Kepada atasan, aku cenderung melakukan lobbying secara mulus hingga aku mendapatkan apa yang kumau : proyek, karir, kepercayaan. Kepada bawahan, aku cenderung menganggapnya teman sehingga mereka mau terbuka denganku dan mau bekerjasama denganku. Aku ingin semua orang kooperatif denganku, sehingga aku mengeluarkan isi dompet untuk kukorbankan sebagai mahar. Kadang oleh-oleh, kadang pula makanan, atau traktiran yang menyenangkan
Ini tentu dua hal yang bertentangan. Di mana hal yang satu, aku cenderung bekerja secara mandiri. Dan yang lain, aku “berpura-pura” agar aku bisa diterima di lingkungan kerjaku.
Psikologku pernah berkata, sesuatu yang datangnya dari dalam diri biasanya lebih kuat daripada sesuatu yang dipaksakan datang. Hal ini berhubungan dengan nilai, konsep, dan keyakinanku.
Kadangkala, aku burnout hanya dengan mengurusi tim kerja yang tidak becus kerjanya. Atau sebal dengan tim kerja yang rewel banget banyak tuntutan di sana sini.
Namun ketika tiba saatnya bekerja mandiri, sesusah apapun pekerjaannya, aku tetep gas pol dan terus berusaha, sampai tujuanku benar-benar terlaksana.
Ketika kita bicara sebuah prestasi kerja, maka yang dilihat adalah hasil. Kadangkala aku membohongi diri dengan semua angka yang kulaporkan di akhir tahun. Bahwasanya itu adalah kerjaan anggotaku. Aku tahu sebenarnya mereka yang penuh kreativitas dan mampu melakukan semua arahanku. Tetapi tidak denganku yang cuma bisa menggantungkan laporan mereka.
Tetapi apabila prestasi itu datang dari dalam diri. Misalkan memenangkan kompetensi atau uji seleksi, maka kepuasan itu dua kali lipat. Karena hasil kerja dengan yang dilakukan sepadan. Dan aku akan lebih puas hati karenanya.
Kita mengarah kepada suatu kesimpulan, bahwa sebenarnya bukan perkara hasil, tampilan luar. Atau validasi yang kita cari. Bagaimana supaya nilai personal itu tetap hidup, sesuai hati nurani. Dan akhirnya menjadi suatu semangat dan gairah penggerak kita setiap harinya.
Dengan menyadari nilai personal dan keyakinan kita, kita menjadi pribadi yang tumbuh setiap harinya. Itulah alasan penemuan diri sendiri beserta segala nilai dan keyakinan menjadi sangat penting.