Merdeka Literasi bersama Para Guru

Merdeka!

Kalau ditanya Indonesia sudah merdeka atau belum, tentu kamu bisa bilang merdeka. Tetapi kalau ditanya apakah kita sudah merasa merdeka? Mungkin belum tentu sama jawaban tiap-tiap orang.

Rupanya konteks merdeka yang dimaksud luas. Merdeka bisa dibuat spesifik konteksnya secara finansial, pengetahuan, atau teknologi.

Guru saya pernah mengatakan hal ini, “Pendidikan itu sejatinya memerdekakan bangsa. Merdeka dari kemalasan dan ketidaktahuan.” Maka rakyat suatu bangsa yang terdidik, seharusnya merdeka dari rasa malas dan sikap tidak tahu.

Pertanyaannya, kalau pendidikan itu memerdekakan, berarti siapa penjajahnya? Siapa musuh sebenarnya?

Musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri.

Tiada lain tiada bukan, rasa malas dan sikap tidak mau tahu adalah diri sendiri. Seseorang yang terdidik, tidak hanya bersekolah adalah orang yang siap untuk melawan musuh besar dalam dirinya. Kitalah sang pejuang yang melawan penjajah berupa rasa malas dan sikap tidak ingin tahu di zaman sekarang ini.

Untuk memerangi penjajahan, pendidikan sudah dibuat dengan jalan yang semakin mudah. Internet, fasilitas, dan literatur sudah berlimpah. Tetapi jika sikap tidak ingin tahu dan sikap malas tersebut masih bercokol, maka diri kita tidak sepenuhnya terbebas dari sang penjajah. Dan kita akan terkungkung di dalam ketidaktahuan.

Kita akan senantiasa terjajah di zaman modern ini, bila kita tidak berusaha memerangi musuh kita.

Bagaimana agar kita merdeka sepenuhnya? Merdeka dari malas baca, merdeka dari malas nulis, merdeka dari sikap masa bodoh, dan merdeka literasi sepenuhnya?

Kuncinya adalah membangun sistem pendidikan yang menarik dan up-to-date di zaman sekarang ini. Bukan saatnya lagi siswa harus terpancang membaca buku fisik. Siswa dapat mencari sumber-sumber lain seperti podcast, video, artikel yang kredibilitas nya tinggi, serta jurnal.

Guru yang baik, tentu mengajak siswanya untuk sama-sama melihat ke dalam internet untuk memilah-milah informasi. Guru tidak lagi memberi dalam jumlah besar dan mengandalkan textbook. Guru bisa mengajak siswanya untuk mencari sendiri informasi dan memilih sumber informasi yang tepat. Itulah student centered learning.

Bagi para guru di luar sana, tentu membangun pendidikan yang menarik bagi para muridnya, bukan suatu tawaran namun kewajiban. Murid tidak hanya diajak untuk belajar, namun juga diajak untuk bertumbuh bersama. Selain meningkatkan kualitas guru, kapabilitas murid-murid dalam bersaing di era teknologi ini dapat terasah dengan baik.

Guru tidak hanya digugu (jw: dituruti) dan ditiru kalau kata orang Jawa zaman dahulu. Guru juga berarti penggugah dan pembaharu.

Penggugah semangat belajar siswa. Bagaimana membuat materi yang tidak menyenangkan menjadi seru untuk dipelajari. Pembaharu artinya selalu mendorong muridnya update dengan perkembangan zaman.

Figur sang guru zaman sekarang diharapkan lebih mengarah kepada “partner literasi mahasiswa.” Lebih dari sekedar transfer of knowledge, guru juga menjadi teman siswa agar bisa lebih melek teknologi sekaligus melek literasi.

Betapa kerennya guru zaman sekarang. Figurnya bukan hanya hadir dengan slide PPT yang membosankan, atau kapur tulis, atau spidol. Guru zaman sekarang bisa menciptakan media pembelajaran seperti video, literasi tambahan, dan eksperimen yang membantu siswanya belajar.

Siswa pun juga diajak guru untuk terlibat dalam pembelajaran. Dengan demikian, tidak ada lagi siswa yang merasa ketinggalan pengetahuan.

Singkat cerita, guru menyelamatkan muridnya dari musuh terbesar. Sudah selayaknya guru disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Guru membantu murid unutk memerangi si penjajah di zaman sekarang: kemalasan diri dan ketidaktahuan dalam diri.

Kemerdekaan literasi zaman sekarang pun bisa diperoleh, dengan bantuan guru-guru terkasih. Murid yang merasa terbantu juga sebaiknya berusaha memerdekakan dirinya. Agar suatu hari nanti para murid mengerti, bahwa kemerdekaan itu dicapai dengan kerja keras, usaha, konsistensi, ketekunan diri. Bukan semata-mata bantuan pihak eksternal.

Jadi apakah kamu sudah merdeka literasi?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *