Orang tua -Sebuah Kompleksitas Luka Dan Cinta

Kita tidak bisa memilih dengan siapa kita dilahirkan.

Sesungguhnya, kehidupan itu sendiri adalah anugerah. Dan hadirnya orang tua sebagai sosok diri pertama saat kita lahir juga anugerah.

Bila Anda membayangkan hidup bersama orang tua selama dua puluh lima tahun, tentu bisa dikatakan menyenangkan. Ada saat-saat bisa bermanja-manja dan merasakan cinta mereka secara nyata. Namun ada saat-saat khusus yang membuat saya selaku anak ingin menjaga jarak sedikit dari orang tua.

Lewat berbagai situasi: merantau, perjalanan dinas, main ke rumah teman, pertukaran pelajar, dan kerja praktek memisahkan saya dengan Ayah dan Ibu. Harus saya akui, perpisahan ini tidak mudah. Pada dasarnya saya dan ibu (terutama) memiliki ko-dependensi yang kuat. Ibu saya tidak memiliki semangat hidup yang sama ketika ada saya, dan saya juga memiliki lebih banyak masalah ketika jauh dari ibu. Ayahpun begitu, ketika saya jauh dari ayah lebih banyak masalah yang sulit untuk bisa saya selesaikan karena memang pelajaran kehidupan yang berat. Ketika dekat dengan Ayah, saya bisa meminta saran dan berbagi banyak hal.

Di saat yang sama, saya menikmati saat-saat jauh dari orang tua. Agar luka mereka atau sisi lain diri mereka tidak memberi efek yang berdampak bagi kesehatan mental saya. Di sinilah saya membuat tembok pembatas yang tinggi dan menikmati kesendirian saya, sebagai anak tunggal.

Orang tua, kompleksitas luka dan cinta. Mereka tetap mencintai meskipun di saat yang sama juga melukai. Dalam kasus khusus, cinta mereka tidak bisa ditawar-tawar dan harganya sangat mahal. Ibu saya sendiri tidak rela saya dimarahi dan dijatuhkan orang lain. Ibu saya juga tidak ingin saya menderita sakit, terbaring lama. Ibu ingin selalu merawat saya dan menjaga diri saya. Demikian juga dengan ayah, ayah tidak ingin saya kekurangan uang dengan mengirimkan uang saku dan menjamin dompet saya terisi.

Cinta mereka berharga, namun di saat yanng sama mereka juga hadir sebagai pembawa luka

Tentang luka yang dibuat orang tua

Sisi lain cinta adalah luka. Sebanyak-banyaknya kasih sayang nyata yang dilakukan mereka baik secara materil seperti uang saku, makanan, fasilitas dan moril yaitu perlakuan menyenangkan dan tempat curhat, tetap saja saya tidak bisa mudah melupakan luka yang dibuat. Terutama dari sosok Ayah.

Menjadi seseorang yang keras terhadap diri sendiri membuat saya sering menyalahkan diri ketika sesuatu berjalan di luar rencana. Pun begitu ketika saya tidak bisa memenuhi ekspektasi orang lain, saya juga merasa tak berguna. Ketika orang-orang lain berprestasi dan saya tidak berprestasi, saya pun juga merasa diri saya tak berharga.

Hal-hal yang menjadi didikan ayah: perjuangan, prestasi, tidak mau ambil jalan pintas, dan kebanggaan masih melekat dalam diri pria berumur 25 tahun ini. Bayang-bayang ayah akan hidup perjuangan ini masih menyertai, setidaknya dalam setiap tugas yang saya kerjakan. Itu menjelaskan mengapa saya memaksakan diri. Kerja di atas jam kerja normal, masih bangun tengah malam untuk memikirkan ide tulisan, dan bangun pagi-pagi sekali agar tidak kesiangan.

Jujur saja, sulit melepaskan ayah dari hidup saya. Kendati ayah saya tiada suatu hari nanti, nama ayah akan tetap saya ingat dan begitu pula perjuangannya. Di mana ada perjuangan, di sana ada sosok ayah yang menyertai. Apakah saya adalah didikan yang berhasil? Rupanya tidak juga. Karena di satu sisi mental saya juga hancur ketika mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan padahal saya sudah berusaha keras. Saya hanya ingin dihargai, dihargai oleh ayah dan ayah-ayah kecil yang ada dalam diri orang lain di dunia.

Kita tidak bisa memilih dengan siapa kita dilahirkan

Dulu saya pernah mendengar lelucon seperti ini: “Tempat pensil itu isinya bukan cuma pensil tapi penghapus, rautan, pena, dan penggaris bahkan. Sama seperti cinta, kalau dibilang cinta ya isinya bukan cuma cinta dan sayang, tetapi pengkhianatan, rasa sakit, pengorbanan, kehilangan, dan luka-luka.”

Apabila analogi yang sama diterapkan untuk orang tua, maka cinta orang tua tidak hanya diartikan cinta secara moral dan materil, namun juga penyesalan mereka, luka batin mereka, masa lalu, kekhawatiran, dan harapan. Dari perlakuan mereka yang tidak mengenakkan, orang tua juga manusia. Mereka punya sisi lain kehidupan yang menyertai bayang-bayang hidup kita.

Orang tua kita di zaman dahulu tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai luka batin, inner child, penyesalan, dan tentang perilaku keras yang dilakukan kepada kita. Mereka tidak bermaksud memberi luka pada kita. Selain itu, mereka akan menyesal di hari tua apabila kita tidak memberikan pengampunan yang tulus dan ikhlas.

Banyak muda-mudi rekan kerja saya yang merantau jauh dari orang tua mereka dan nyaman untuk tidak pulang. Bagi mereka, saat-saat jauh dari rumah adalah saat yang menyenangkan. Karena mereka bisa terbebas dari bentakan sang ayah, omelan sang ibu, sikap menggurui ayah dan ibu, serta sikap menghakimi sang ibu. Mereka ingin memberikan pelajaran bagi orang tua mereka, apa rasanya hidup tak dihargai.

Hal ini berdampak negatif, karena di hari tua, orangtua akan menyesal terhadap tingkah laku dan perbuatan mereka kepada anaknya. Anak pun begitu, akan menyesal ketika sudah kehilangan orang tua mereka.

Bagaimanapun juga, kita tidak bisa memilih dengan siapa kita dilahirkan. Sifat ayah dan ibu itulah yang membentuk kita. Jadi bagaimana sekarang kita harus berbuat?

Penerimaan diri. Penerimaan bahwa kita sudah diberikan orangtua dengan segala sifatnya. Apa yang kita miliki sekarang adalah anugerah, dan masa lalu adalah pengalaman. Mengolah sejarah kehidupan adalah kunci untuk bisa hidup menata masa depan.

Orang tua tetaplah pribadi dengan kompleksitas luka dan cinta. Kita tidak bisa memisahkan sifat buruk mereka dalam diri. Yang kita perlu perbuat adalah hidup berdampingan dan kalau bisa menyadarkan akan apa yang mereka perbuat.

Atau mereka dan kita yang akan menyesal di kemudian hari… Saya rasa itu tidak akan terjadi bagi kita yang dibekali literasi lengkap dan pengalaman yang utuh.

Sanggupkah kita untuk bisa menerima orang tua kita?