Pernah dengar lagu “Putus nyambung” karya “Bukan Bintang Biasa”? Kalau iya, selamat berarti kita sepantaran. Wkwkwk. Kalau kurang familiar, berarti kita di generasi yang berbeda. 😁
Di lagu tersebut, terdapat suatu lirik yang sangat terkesan:
Putus nyambung, putus nyambung, putus nyambung
Kalau dekat, benci, kalau jauh, kangen
Lihat saja nanti, apa yang terjadi
Putus ataukah nyambung?
Ini cukup menjelaskan relasiku dengan beberapa orang terdekat: sahabat, pacar, orangtua khususnya Ibu. Kalau di dekat, kami sering sekali bertengkar. Bukan hanya dekat secara jarak, namun juga secara kebiasaan chatting / menghubungi. Kalau menghubungi secara intensif, akan tiba suatu saat kami akan berdebat hal-hal sepele.
Aku pernah mengira, bahwa aku merupakan orang yang kurang pandai membangun hubungan interpersonal. Sampai suatu saat aku merasa bahwa yang kubutuhkan adalah batasan.
***
Batasan, atau bisa disebut Boundaries, adalah sejauh mana kita mengizinkan orang lain memasuki hidup kita. Ini bisa berupa permintaan tolong, percakapan, topik pembicaraan privasi, hingga mengadakan janji temu. Batasan adalah cara kita untuk membuat safe zone antara kita dengan orang lain.
Fenomena “putus nyambung” atau sering berantem di saat dekat dan jarang berantem kalau sedang jauh-jauhnya di atas adalah suatu tanda di mana “kurang terdapat batasan yang sehat.” Aku pribadi memiliki batasan yang jelas terhadap orangtua, teman, sahabat, pacar, dan orang asing. Namun kegagalanku mengemukakan batasan di awal, menjadikan aku mudah untuk marah dan menyerang orang lain yang melanggar masuk ke batasanku.
Menurut ilmu Psikologi Adler di mana tujuan-tujuan hidup kita, didekatkan pada nilai-nilai teleologis atau sebuah tujuan, maka “marah” bukanlah tujuan. Tujuan dari kemarahan tersebut, adalah agar orang lain tidak mengusik kita lagi dengan kegiatan mereka. Sehingga marah lebih cocok disebut sebagai sarana.
***
Aku pribadi lebih menyukai tinggal sendiri seperti tingggal di kos atau kontrakan sendirian. Karena ketika aku bersama dengan orang lain, ada nilai-nilai yang harus sejalan dengan mereka. Bila nilai tersebut bermaksud menertibkan atau menyeleraskan kehidupan bersama, maka itu akan sangat bermanfaat. Namun tidak bila nilai-nilai itu hanya merusak atau menggoyahkan integritas diri.
Aku bisa mengatur kapan aku berangkat, kapan aku pulang kerja, kapan aku makan, kapan aku beristirahat. Aku bisa membatasi topik percakapan yang masuk.
Sehingga aku bukanlah orang yang mudah bersosial dengan rekan kerja di luar kantor. Aku selektif dalam memilih topik obrolan, teman mengobrol, ataupun tempat mengobrol.
***
Aku kurang suka ditanya-tanya tentang kapan menikah, tentang gaji dan pekerjaan orangtua, maupun hal privasi lainnya. Ketika ada seseorang yang melakukannya, maka responku adalah menghindari pertanyaan tersebut.
***
Itulah contoh-contoh batasan. Batasan yang sehat, dan yang jelas. Dengan hidup memiliki batasan, kita bisa menjaga kewarasan kita dan tentu saja kita akan lebih mencintai diri sendiri.