Wacana Menuju Realita

Ada dua orang sahabat, sebut saja Anto dan Budi. Mereka memiliki keinginan untuk menerbitkan buku.

Suatu hari Anto berkata, “Aku akan menerbitkan suatu buku di tahun ini.”

Budi membalas “Sama aku juga! Terus sudah berapa penerbit kamu daftarkan?”

Anto menjawab katanya, “Belum ada. Hanya saja aku sangat ingin menerbitkan buku.”
“Kalau gitu, sudah berapa naskah yang kamu siapkan?” tanya Budi.
“Ya belum ada. Aku akan membuatnya suatu hari!” Anto menjawabnya.

Sementara itu Budi terus membuat naskah. Naskah yang sudah ia siapkan, ia berikan kepada penerbit. Ia terus mencoba mengumpulkan naskah walaupun belum ada penerbit yang menerima naskahnya.

Budi kembali bertemu Anto dan menanyakan mengenai progress pembuatan buku. “Kamu sudah selesai menulis naskah?”

Jawaban itu tak diduga, Anto berkata “Aku sibuk sekali, sepertinya besok saja aku nulisnya deh.”

Budi terus mencoba mendaftarkan naskahnya, melakukan swasunting, improvisasi, hingga mendapatkan satu penerbit yang mau menerima naskahnya. Pada akhirnya Budi duluan yang berhasil menerbitkan buku miliknya.

“Selamat Budi atas naskahmu yang baru saja terbit!” ucap Anto ketika mereka bertemu kembali. “Terima kasih Anto. Kamu sangat-sangat suportif denganku. Kamu sendiri gimana, jadi nerbitin buku enggak?” balas Budi sambil bertanya.

“Emm, kayaknya nanti deh, aku masih sibuk. Mungkin bulan depan”


Cerita ilustrasi ini akan jadi membosankan buat kita apabila Anto tidak segera membuat perubahan. Budi bisa saja mengeluarkan bukunya yang ketujuh, sementara Anto masih mengulur waktu dari bulan menjadi enam bulan, dan dari enam bulan menjadi setahun. Bahkan lebih parah lagi Anto bisa menunda penerbitan bukunya hingga bertahun-tahun kemudian.

Itulah dampak mengerikan dari “hanya sekadar wacana.” Anto adalah bukti nyata dari suatu wacana yang tak kunjung nyata. Lain cerita, Budi adalah bukti nyata dari “bukan sekadar wacana.” Budi terus berjuang walaupun keadaan tidak mendukung dirinya. Walaupun nasibnya kurang beruntung karena mendapatkan penolakan dari beberapa penerbit. Namun pada akhirnya, Budi berhasil mencetak buku pertamanya.

Andai saja Anto segera menulis, mungkin saja Anto akan segera menyelesaikan naskahnya. Andai saja naskah Anto sudah selesai, Anto mungkin sudah bisa mengirimkannya ke penerbit. Dan apabila Anto sudah mencoba mendaftar ke banyak penerbit, mungkin ada satu di antaranya yang bisa menerbitkan naskah Anto.

Seseorang yang “hanya sekadar wacana” akan terus mengatakan “aku ingin” dan “aku mau”. Tetapi orang yang “bukan sekadar wacana” akan mengatakan “aku sudah” “aku telah” , dan beberapa tindakan nyata lainnya.

Lantas, bagaimana menjadi seperti Budi? Bagaimana agar setiap wacana kita menjadi nyata?

Pernyataan sikap dan komitmen

Perbedaan nyata antara sikap Anto dan sikap Budi, terletak pada komitmen yang mereka buat.

Tunggu sebentar, komitmen? Apakah dampak dari sebuah komitmen?


Di awal program ini: 30 Days Writing Challenge, kita ditugaskan untuk membuat pernyataan komitmen. Pernyataan ini ditujukan agar kita dapat menyelesaikan tantangan tepat waktu, sehingga seluruh rencana menulis kita bukan sekadar wacana, melainkan suatu gagasan yang berwujud realita. Rasa ingin seperti Anto saja tidak cukup, harus dilandasi oleh suatu komitmen yang kuat.

Satu lagi, komitmen harus diberitahukan kepada orang yang tepat. Sehingga orang tersebut bisa mendukung kita, atau mengingatkan ketika kita akan bermalas-malasan atau mau keluar dari komitmen tersebut.

Namun, komitmen juga masih belum cukup. Kita harus membuat suatu rencana karena kita adalah…

SMART People with SMART Planning

Kerja keras itu baik, namun ada pentingnya kita bekerja secara cerdas. Adapun dalam menyusun rencana, kita haruslah SMART:
SMART bisa diartikan sebagai
Specific: Tujuan yang spesifik
Measurable : Kriteria suksesnya dapat diukur
Achievable : Dapat diraih
Realistic : Sesuai dengan sumber daya yang ada
Timely : tepat waktu.

Penyusunan rencana ini juga sudah kita terapkan di 30 Days Writing Challenge bagian KUIS 1: Bank Ide.

Nah, setelah menyusun rencana, saatnya kita

Membentuk realita

Dalam pelaksanaannya, kita sendiri merasa capek, mood-moodan, dan kurang motivasi ketika mengalami kendala. Contohnya, ketika mendapatkan tantangan menulis bertema spesifik. Namun, ada beberapa cara agar kita bisa mencipta realita dari sekumpulan rencana, yakni

  1. Tetap ingat pada komitmen awal yang dibuat (lihat postingannya, rasakan feel nya)
  2. Mendekat kepada support system (Chat Guardian, chat mentor, chat di grup)
  3. Jalani hari seperti biasa, lakukan seperti tanpa beban.

Setiap dari kita adalah kreator. Penulis adalah kreator. Sejatinya, kita semua adalah kreator gagasan, sehingga semua gagasan bukan hanya sekadar wacana, melainkan kumpulan realita sistematik.

Kita punya kebabasan, akal budi, hati nurani untuk membentuk realitas-realitas yang kita inginkan, sehingga gagasan kita lebih dari sekadar wacana.

Jadi, sudahkah kita semua membentuk realita versi kita masing-masing.
Yuk, buktikan kepada diri ini bahwa kita lebih dari sekadar wacana
Kita adalah realita itu sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *