Manajemen (Ekspektasi) Perubahan

“Takut / Menolak perubahan yang bersifat mendadak”

Masih ingat pernyataan itu? Yups, pernyataan itu muncul dalam tes kepribadian sewaktu melamar kerja/ pendidikan. Ini karakter yang mendeskripsikan aku. Atau bahasa kekiniannya “aku banget”.

Kembali di 2019 saat aku mengikuti management trainee program. Para pelatih bilang fleksibilitasku rendah. Hal ini terbukti karena kemampuanku untuk menghadapi perubahan masih di bawah rata-rata. Faktanya, dunia ini dinamis dan terus berubah.

Ibuku selalu mengatakan, bahwa tiada yang abadi di dunia ini selain perubahan. Karena alam semesta adalah kontinuum yang tak lekang dari sesuatu bernama perubahan. Paling tidak, secara fisik kita mengenali perubahan yang terjadi dalam diri kita dan orang lain. Janggut mulai panjang, rambut memutih, badan bertambah tinggi. Semua itu adalah contoh perubahan yang mendasar.

Lalu bagaimana aku tumbuh mendewasa dan menyikapi perubahan tersebut?

Membuang Ekspektasi

Pertama-tama, kita perlu membuang ekspektasi kita dalam apapun atau siapapun dalam hidup ini. Ketika kita berekspektasi terlalu tinggi, dan di saat realita menghajar kita habis-habisan, kita akan remuk. Namun saat kita tak punya ekspektasi banyak, kejadian yang mengecewakan tak dapat melemahkan kita. Sebaliknya, kejadian yang membahagiakan dapat melipatgandakan bahagia kita.

Kita tak bisa membendung perubahan yang terjadi terus menerus di alam semesta yang serba fana ini. Kita hanya bisa terus beradaptasi karenanya.

Selalu ingin belajar dan memahami, tak gampang puas hati

Aku merasa ketika orang-orang dalam hidupku berubah, mereka sudah menjadi jahat. Padahal sebenarnya mereka hanya menunjukkan sifat aslinya saja. Atau mereka hanya menjadi diri mereka sendiri. Apakah salah ketika orang lain menjadi diri mereka sendiri?

Jawabannya tidak. Mereka punya hak untuk menjadi apapun yang mereka mau. Apakah konsep ini kudapat dalam satu malam?

Tentu saja tidak. Aku perlu melewati banyak luka, sakit, dan kecewa. Namun satu hal yang aku garisbawahi di sini adalah, kemampuanku untuk belajar dan mengerti orang lain meningkat seiring dengan luka dan kecewa tersebut. 

Kita boleh saja merasa cukup, namun selalu ingin belajar dan memahami apapun dan siapapun jauh lebih penting daripada rasa cukup itu. Dengan mencoba memahami, kita jadi mudah untuk menyesuaikan semua kondisi baru yang kita terima. 

Reaksi kita boleh kaget, atau kecewa. Namun yang namanya belajar memahami tidak boleh berhenti, kapanpun dan di manapun.

Melihat gambaran yang lebih besar

Pernahkah melihat ulat? Adapun ulat yang menjijikkan, lengket, dan membuat gatal terkesan tidak diinginkan. Karena ulat punya sifat-sifat yang tidak diinginkan kita. Namun cobalah menunggu fase hidup ulat lebih lama lagi. Sesaat dia menjadi kepompong dan kemudian dia menjadi kupu-kupu. Apakah kita merasa jijik setiap kali bertemu kupu-kupu? Tentu saja tidak. Lagipula mereka akan terbang dan menghinggapi bunga-bunga. Betapa fase siklus yang indah dan kita nantikan!

Apabila kita hanya melihat satu fase hidup, maka kita merasa ulat atau kepompong adalah binatang yang tidak berguna dan menjijikkan. Namun apabila kita melihat satu siklus hidup, ternyata kita bisa melihat keindahan dan keagungan Tuhan lebih besar lagi.

Ketika seorang teman berubah sikap kepada kita. Lebih dingin, lebih cuek, lebih galak. Apakah respon kita?

Kita bisa saja cuek ataupun apatis. Kita bisa juga marah atau ikut kesal karena perubahannya. Satu hal yang jangan pernah kita lupa, adalah “Sejauh mana perubahan tersebut mengganggu ketenangan hati kita?”

Ketika kita mulai terasa terganggu, kita bisa mengemukakan kepada teman kita yang berubah sikap. Mengapa dia berubah, adalah hal yang perlu kita tanyakan. Dan apakah kita bisa menerima perubahan tersebut. Merupakan suatu pilihan.

Banyak relasi yang hilang karena salah satu pihak tak bisa mentoleransi perubahan pihak lain. Sebagian relasi tersebut hilang karena tiada komunikasi akan perubahan pihak lain tersebut.

Yang terpenting, perubahan orang lain menghantarkan kita pada suatu perkembangan. Atau bisa jadi pembelajaran. Ketika suatu relasi hilang karena perubahan sikap salah satu pihak, maka di situlah terdapat pembelajaran. Namun ketika suatu relasi bertahan meskipun perubahan sikap terjadi pada salah satu pihak, maka di situlah terjadi perkembangan komunikasi dan toleransi.

Either you succeeded or you learn, the best is yet to come

Manajemen (ekspektasi) perubahan bukan suatu ilmu mentah. Ini adalah ilmu hidup yang harus kita kuasai karena alam semesta ini didesain bukan untuk sebuah stagnansi atau keadaan yang tetap.

Orang,

Cuaca dan iklim,

Kondisi geografis lingkungan

Dan semua aspek dalam dunia ini melibatkan adanya perubahan.

Terus ingin belajar, ingin memahami, dan ingin beradaptasi adalah kunci pertahanan di setiap perubahan apapun yang kita alami di hidup ini.

Jadi sudahkah kita belajar mengelola perubahan tersebut?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *