Self-Discovery dengan Karya Seni

Ingatanku menerawang ke masa-masa SMA. Masa di mana kami bisa bebas mengekspresikan diri, terutama di bidang akademik, olahraga, dan seni. Aku adalah siswa yang tertarik pada bidang seni, salah satunya seni musik. Dari sekian banyak opsi: gitar, biola, piano, vocal group, angklung, dan drum; rupanya seni gitar adalah satu-satunya seni yang memikatku.

Seni Musik, pembuka gerbang pengenalan diri

Apakah aku sangat-sangat jago main gitar?
Jawabannya tidak :”). Terutama karena aku masih kaku dalam melakukan transisi antar chord. Kurang hafal chord dan cenderung tekstual dengan buku pedoman bermain gitar. Aku sendiri menemukan bahwa aku hanya bisa sedikit lagu klasik yang memerlukan petikan. Ketika aku mencoba bermain “Romance D’ amour” aku hanya bisa memainkannya sampai verse 1 dan 2. Ketika sudah tiba part 2, dan final… aku mulai putus asa. Aku juga mencoba bermain “March Militaire”:, The tale of the bard, dan Canon in D, tetapi… aku mendapatkan nilai di bawah KKM karena aku tak bisa menguasainya dalam waktu seminggu. Aku mudah menyerah ketika tanganku sakit.

Seni rupa, paling merasuk ke dalam jiwa.

Tapi aku yakin, diriku benar-benar seniman (tapi bukan senang nipu teman). Ketika aku putuskan bahwa bermain gitar bukanlah bakatku, aku mencoba untuk berpindah ke seni lain yaitu seni rupa. Kali ini aku berpindah saat kelas dua belas. Tepat sekali, ketika seni rupa di kelas 12 lebih kepada menggambar isometrik yaitu 3-dimensi. Aku percaya diri karena di sini aku bisa melakukannya, bahkan aku mengajari ke teman-temanku.

Namun begitu aku harus menggambar bebas, seperti gambar orang, atau pemandangan, aku merasa malu karena gambarku lebih mirip gambar anak SMP atau bahkan SD. Aku kehilangan kesabaran ketika aku harus menorehkan garis itu dengan tegas, namun malah mencorengnya. Aku jadi tidak sabar ketika gambarku hanya berupa gambar-hapus-gambar-hapus-gambar-hapus dan akhirnya aku menggambar di atas kertas yang lecek, dan hasilnya sangat tidak memuaskan.

Sang penggambar film animasi

Akhirnya aku mencoba mencari objek lain yaitu Pokemon, salah satu objek yang aku suka dan mudah menggambarnya. Aku lebih percaya diri menggambar PIkacu, Oshawott, Larvitar, dan Charmander ketimbang aku harus menggambar orang hidup. Dan di sana aku membuat karya seni yaitu laci Pikachu dari kardus. Aku suka karyaku, bahkan mereka memajangnya di ruang belakang :D.

Bermusik dalam grup vokal

Pencarian diriku terhadap nilai seni aku tingkatkan hingga kuliah. Saat kuliah, aku menyanyi Bersama tim vocal grup jurusan, dan menempati suara Bass. Di sana aku lebih mencintai transisi suaraku yang sebenarnya tidak kuat lagi menggunakan suara tenor. Aku bernyanyi Bersama teman-teman, dan aku lebih menemukan diriku. Hobiku bernyanyi aku teruskan hingga 4 tahun bekerja. Aku masih mencintai menjadi anggota Paduan suara maupun vocal group, hingga aku terus dan menerus melakukannya.

Nyanyi solo: Titik mula pengenalan diri

Di suatu titik kehidupan aku bosan dengan hobby menyanyi dalam tim. Saat itu aku baru putus dengan pacar. Dan aku memutuskan untuk mencoba menyanyi solo di café. Aku ingin dikenal. Aku ingin diakui kalau suaraku bagus. Aku juga ingin mereka bertepuktangan setelah aku bernyanyi. Pokoknya aku ingin terkenal dan menjadi penyanyi solo yang baik.

Aku menjadi ketagihan setelah mendapatkan apresiasi dari si penyanyi. Aku jadi senang dan ingin terus bernyanyi. Aku meneruskan hobbyku itu dalam 2-3x pentas. Hingga aku bertanya kepada diri sendiri: untuk apa aku bernyanyi? Untuk sebuah pujian, atau untuk pengembangan diri?

Ke psikolog: agar tidak lari dari diri sendiri yang menghantui

Pikiranku semakin menjadi kalut, ketika aku sadari, bahwa menyanyi adalah pelarianku, agar aku tidak larut dalam kesedihan. Aku bernyanyi agar aku lupa bahwa aku sedan gada masalah. Aku bernyanyi agar aku bisa yakin bahwa diriku baik-baik saja, aku dihargai di luar, dan dihormati. Aku bernyanyi supaya aku tidak dianggap deep dark inside dan punya gangguan kejiwaan.

Dan kesadaranku mengarahkanku pada inisiatif kunjungan ke psikolog. Aku mengunjungi psikolog agar aku menjadi tahu, akar dari kesedihan dan permasalahan dalam diri. Aku jadi ingin lebih kenal pada diri sendiri dan tentunya lebih sayang pada diriku. Aku tidak ingin lari dari masalahku.

Setelah ke psikolog , aku menjadi suka menggambar, walaupun gambarku tetap jelek. Aku suka bernyanyi, walau aku tidak didengar di public, entah bernyanyi di kamar atau bernyanyi di motor. Aku jadi suka menulis puisi.

Seni, perwujudan ekspresi diri

Kusadari, bahwa aku menyelami dunia seni untuk mengekspresikan diri. Aku ingin mendalami seni, supaya aku lebih sayang pada diri dan mengetahui potensi apa yang tersembunyi. Aku menggambar untuk mengekspresikan perasaan dan suasana hati. Aku menulis untuk menyuarakan hati dan jiwa yang terdalam. Aku bernyanyi untuk melepaskan semua beban diri.

Karena aku berseni untuk menemukan diri ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *