Mengatasi luka dan trauma generasi sebelumnya

Sebut saja Benny. Seorang anak yang tumbuh besar dari keluarga yang keras. Dengan karakter Ayah yang suka main tangan, dan Ibu yang suka membentaknya, maka lengkap sudah luka dan trauma generasi sebelumnya di keluarga ini.

Benny diharuskan untuk rajin belajar di sekolah dan rumah. Di sisi lain, Benny harus jatuh bangun dengan situasi mentalnya. Kadang dia menghadapi UTS / UAS dengan stress. Tak jarang Benny sakit saat ujian, karena saking stressnya.

Di luar akademik, Benny memiliki manajemen emosi yang buruk. Tak jarang dia melampiaskan emosinya dengan cara memukul temannya. Bukan cuma tukang berkelahi, kadang dia memukul temannya apabila tidak setuju dengan pendapat temannya. Dia juga suka membentak semua orang ketika dia diledek dan dicemooh, atau diatur-atur.

Benny tumbuh besar hingga dewasa, dan akhirnya bekerja. Di kantor ia juga menunjukkan sifat yang giat bekerja, namun keras kepala kepada rekan kerja dan bawahannya. Dia suka membentak orang yang mendebatnya dan selalu ingin menang debat.

Ketika Benny menikah, dan punya anak, rumah tangga Benny serasa neraka. Dia sering memarahi istrinya ketika istrinya tidak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik. Tak jarang, Benny juga membawa masalah kantor ke rumah dan menyerang seisi rumah. Belum puas juga, Benny melampiaskan amarahnya dengan memukul Clive, anaknya.

Clive akhirnya merasakan hal yang dulu dirasakan Benny.

And the cycle repeats

Sejarah hanya akan mengulangi dirinya kembali, apabila kita sebagai pelaku sejarah tidak merubahnya.

Damar P.

Mungkin kamu, aku, dan kita semua pernah mengalami yang dirasakan Benny tersebut.

Mungkin sebagian, atau seluruhnya.

Bisa jadi, kita melahirkan Benny-Benny yang lain tanpa disengaja. Semua itu karena alam bawah sadar kita merekam luka dan trauma dari generasi sebelumnya.

Oleh karena itu, mari mempelajari secara singkat tentang:

Luka dan trauma generasi sebelumnya

Pada contoh di atas, Benny hanyalah “menyalurkan” luka generasi sebelumnya (generational trauma), dalam tindakannya sehari-hari. Tanpa sadar, luka tersebut menyalur ke anaknya sendiri.

Kalau diibaratkan pantun:

Ada lakban ada paku
Dulu korban, sekarang pelaku

Benny hanyalah sang korban. Dan Bennylah yang menggantikan peranan bapaknya saat dia memiliki anak.

Benny bisa menjadi seorang yang keras, karena lahir di keluarga keras. Ia menjadi tukang pukul, karena sering dipukul oleh ayahnya. Dia juga selalu membentak, karena dari kecil diasuh dengan bentakan.

Benny merasakan luka yang amat dalam dengan perlakuan orangtuanya. Namun, Benny tidak berusaha untuk menyembuhkannya dan malah membuatnya menjalar ke generasi berikut.

Tindakan Benny ini dilakukan, karena dia tidak tahu …

Dampak generational trauma

Benny tidak mengetahui dampak buruk dari generational trauma. Dirinya tidak hanya menyalurkannya untuk anaknya sendiri, Clive. Ia pun juga menyalurkan trauma ke orang-orang sekitar: teman sekolah, teman kerjanya, bahkan keluarganya sendiri.

Orang lain yang tidak mengenal Benny dan mengetahui sisi dalam dari Benny, hanya akan menganggap Benny seorang sosiopat. Atau seorang yang temperamental. Ini tentu akan mempersulit lingkungan sekitar Benny, karena dia hanya akan membuat orang-orang di sekitarnya menjadi takut padanya.

Lebih buruk lagi, untuk anaknya sendiri. Benny akan membuat kondisi mental anaknya menjadi tidak stabil. Akibatnya anak akan berpotensi untuk menderita gangguan kejiwaan, bila tidak ditangani secara tepat.

Untuk itu, penting dalam mengetahui…

Cara mengatasi generational trauma

Apabila Benny sadar akan apa yang dilakukan orangtuanya sebagai sumber luka dan trauma, Benny akan mencari cara untuk sembuh. Setelah sembuh, Benny tidak akan membawa generational trauma yang berdampak pada keturunannya.

Maka solusi mengatasi trauma generasi atau generational trauma, adalah membangun kesadaran diri yang penuh, melalui self-discovery.

Kesadaran diri, termasuk di dalamnya adalah empati terhadap diri sendiri (self-empathy). Empati terhadap diri sendiri memiliki beberapa keuntungan, di antaranya:

  • Lebih mengetahui apa yang merusak dan membangun diri.
  • Mengenali ancaman yang mengganggu kenyamanan diri.
  • Menciptakan hubungan yang sehat terhadap dunia sekitar kita.

Kita akan lebih sadar terhadap diri sendiri, ketika kita mampu berempati. Cara berempati terhadap diri sendiri itu sederhana. Misal, ketika ada orang yang menghina kita, cobalah untuk menanyakan kepada diri sendiri:

“Tadi sakit gak, dikatain muka boros sama si A?”

Atau coba tanyakan ini:

“Pas dia bilang kamu gendut, kamu tersinggung gak?”

Hal ini juga berlaku untuk masalah yang lebih besar. Seperti halnya pada kasus Benny. Ketika Benny teringat pengalaman ayah yang suka memukul, Benny dapat bertanya kepada diri sendiri: bagaimana rasanya? Apakah Benny sangat terluka dan sedih dengan perilaku ayahnya? Seberapa marah Benny dengan ayahnya?

Kesadaran diri inilah yang membuat kita bisa mengetahui primal wound atau akar dari trauma. Di sinilah self-discovery yang sesungguhnya bermula.

Peranan psikolog dalam menyembuhkan luka dan trauma

Saat aku mencari primal wound atau akar dari trauma, aku mencari bantuan Psikolog Klinis.

Maka bila kita ingin mengetahui primal wound, serta memulihkannya, kita memerlukan bantuan professional. Saat itulah Psikolog Klinis berperan.

Mereka, para Psikolog telah menempuh pendidikan dan pengalaman lebih dibanding kita yang masih awam dengan ilmu Psikologi. Kita hanya bisa bekerjasama dengan mereka, dengan cara membangun kesadaran. Merekalah yang akan membantu kita dalam berproses.

Dalam kasus khusus, membangun kesadaran ini dapat dilakukan dengan cara latihan mindfulness dengan terapi bergaya meditasi. Ini adalah suatu keuntungan ketika kita konseling di Psikolog secara luring.


Dengan memahami luka dan trauma generasi sebelumnya, dan mencari cara untuk memulihkannya, proses pemulihan hanyalah progresi nyata hari demi hari. Tetap berusaha mengenali diri dan mengenali perubahan yang ada dalam diri adalah kunci dari membangun kesadaran yang utuh.

Dengan demikian, kita bisa menyelesaikan pengaruh luka dan trauma dari generasi sebelumnya.

Luka dan trauma jadi pulih,
Hidup pun jadi bernilai lebih,
dan prestasi mudah diraih!

Jadi, sudahkah kita menyadari luka dan trauma yang ada di generasi sebelum kita?

#30DWC #Day4

30 hari menuju self-discovery

Setelah menjalani self-discovery, aku terkesan dengan hidup orang-orang yang kuamati lewat layar kaca sosial media. Ada yang studi lanjut di luar negeri, ada yang sudah tunangan, ada yang menikah, ada yang punya momongan, dan ada yang mendirikan bisnis baru.

Tapi aku tidak iri, aneh bukan?

Bukannya sama sekali tidak iri, tetapi sudah tidak iri. Berarti sebelumnya pernah iri, dong?

Proses terbesar mengubah yang tadinya iri menjadi tidak merasakan iri, sebenarnya adalah perjalanan setengah tahun yang berat. Ada satu kata di sana yang penuh harapan dan membahagiakan:

Self-discovery, atau disebut penemuan diri.
Singkatnya, aku telah menemukan diriku sendiri.


Prestasi terbesar di 2023 yang kulakukan, adalah, aku menemukan diriku melalui kunjungan ke Psikolog. Itu sebabnya aku tidak iri dengan progress hidup orang lain, karena aku sudah mengetahui siapa diriku dan apa yang akan kulakukan.

Untuk tidak merasakan iri dengan progress hidup orang lain, kuncinya adalah satu konsep yaitu:

Mereka semua adalah rekan seperjuangan, bukan pesaing apalagi musuh.

Tadi aku menyebutkan sesuatu: kunjungan ke Psikolog. Apakah aku terkena gangguan jiwa?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, aku akan menjelaskan latar belakangku dan alasan di balik semua cerita.

Frustrasi dalam menghadapi tekanan berat di kantor

Kala itu, statusku masih kontrak dan aku belum diangkat menjadi karyawan tetap. Aku sering pulang jam sembilan malam, bahkan terkadang pulang jam 12 malam untuk menunjukkan loyalitasku pada perusahaan.

Aku yakin dan percaya, aku bisa melewati ini semua dan berhasil diangkat menjadi karyawan tetap.

Hanya saja, saat itu rasa khawatirku melebihi rasa percayaku. Sehingga aku cenderung mengalami perubahan emosi dan karakter ketika aku kelelahan.

Aku melampiaskan amarahku pada orang-orang di sekitarku.

Usut punya usut, ternyata amarahku tidak keluar begitu saja, melainkan disebabkan oleh akumulasi tekanan terus menerus. Tanpa sengaja aku menciptakan “drama” bagi kehidupan orang-orang di sekitarku.

Bukan cuma itu, aku sempat mengalami…

Disorientasi hidup dan menyadari arti self-discovery

Aku sempat hilang arah dalam hidup ini.

Bingung mau jadi apa,
Mau ngapain aja.
Mau ke mana.

Sempat tak bertujuan, aku sempat habiskan waktuku di hidupku untuk main-main, senang-senang, dan menghamburkan uang.

Sampai di suatu titik kehidupan, aku mulai bertanya pada diriku:

Sampai kapan mau begini terus?

Sadar akan semuanya, aku tidak bisa hidup dengan cara seperti ini, hingga aku:

Eksplorasi minat dan bakat

Aku mulai menekuni hobi lama: berolahraga Muay Thai, menggambar sketsa di atas kertas, menulis puisi, dan bernyanyi di cafe. Aku melakukan itu semua untuk menggali semua potensi diri.

Tak jarang, aku memamerkannya di media sosial guna mendapatkan pengakuan.

Ini tidak salah, karena motivasiku adalah diakui dan diberikan penghargaan. Yang salah adalah: aku berhenti melakukan hobbyku ketika aku tak mendapatkan validasi.

Sehingga aku putuskan untuk konseling ke Psikolog, karena…

Psikolog berperan dalam perjalanan self-discovery

Semula kukira, peranan psikolog hanya sebagai “teman cerita” atau tempat berkeluh kesah.

Hingga di suatu titik, aku berdiskusi kepada rekan kerjaku, bahwa psikolog lebih dari sekedar itu. Mereka mampu untuk mengamati, menganalisa, dan menilai perilaku serta unsur psikis kita.

Aku yang semula ragu, menjadi mau dalam memaksimalkan potensi diri.

Ternyata, aku punya kemampuan untuk menyelesaikan terapiku dalam kurun waktu 3 bulan: Mei-Juli 2023.

Diketahui bahwa aku sendiri punya…

Isu emosional dan trauma

Tak heran, isu trauma masa lalu yang menjadi penyebab.

Hal inilah yang menjadi sebab dari semua amarah, semua watak yang sulit dijelaskan, dan semua tangis yang mendadak keluar.

Di setiap hari, siang dan malam, trauma itu berkeriapan, menunggu saat dia “keluar” dari sarangnya.

Aku sendiri berharap, traumaku tidak menimbulkan suatu masalah, yang merepotkan banyak pihak.

Sehingga, aku datang ke psikolog dengan…

Tujuan dan harapan yang jelas

Saat itu, sekurang-kurangnya aku menemukan tiga buah tujuanku mendatangi psikolog:

  1. Ingin lebih kenal dan sayang dengan diri sendiri.
  2. Mau menggali dan mengerahkan semua potensi diri.
  3. Ingin hidup di tengah-tengah masyarakat dengan batasan sosial yang sehat.

Harapannya, aku bisa menemukan diriku secara utuh, yang mana aku tahu cara harus merespon trauma dan kenangan buruk itu.


Disinilah ceritaku dimulai.
30 hari menuju self-discovery adalah bentuk ekspresi sekaligus rekapitulasi dari perjalanan jiwaku dalam menemukan diri.

Simak diriku bercerita selama tiga puluh hari penuh.


#30DWC #30DWCJilid44 #Day1