30 hari menuju self-discovery

Setelah menjalani self-discovery, aku terkesan dengan hidup orang-orang yang kuamati lewat layar kaca sosial media. Ada yang studi lanjut di luar negeri, ada yang sudah tunangan, ada yang menikah, ada yang punya momongan, dan ada yang mendirikan bisnis baru.

Tapi aku tidak iri, aneh bukan?

Bukannya sama sekali tidak iri, tetapi sudah tidak iri. Berarti sebelumnya pernah iri, dong?

Proses terbesar mengubah yang tadinya iri menjadi tidak merasakan iri, sebenarnya adalah perjalanan setengah tahun yang berat. Ada satu kata di sana yang penuh harapan dan membahagiakan:

Self-discovery, atau disebut penemuan diri.
Singkatnya, aku telah menemukan diriku sendiri.


Prestasi terbesar di 2023 yang kulakukan, adalah, aku menemukan diriku melalui kunjungan ke Psikolog. Itu sebabnya aku tidak iri dengan progress hidup orang lain, karena aku sudah mengetahui siapa diriku dan apa yang akan kulakukan.

Untuk tidak merasakan iri dengan progress hidup orang lain, kuncinya adalah satu konsep yaitu:

Mereka semua adalah rekan seperjuangan, bukan pesaing apalagi musuh.

Tadi aku menyebutkan sesuatu: kunjungan ke Psikolog. Apakah aku terkena gangguan jiwa?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, aku akan menjelaskan latar belakangku dan alasan di balik semua cerita.

Frustrasi dalam menghadapi tekanan berat di kantor

Kala itu, statusku masih kontrak dan aku belum diangkat menjadi karyawan tetap. Aku sering pulang jam sembilan malam, bahkan terkadang pulang jam 12 malam untuk menunjukkan loyalitasku pada perusahaan.

Aku yakin dan percaya, aku bisa melewati ini semua dan berhasil diangkat menjadi karyawan tetap.

Hanya saja, saat itu rasa khawatirku melebihi rasa percayaku. Sehingga aku cenderung mengalami perubahan emosi dan karakter ketika aku kelelahan.

Aku melampiaskan amarahku pada orang-orang di sekitarku.

Usut punya usut, ternyata amarahku tidak keluar begitu saja, melainkan disebabkan oleh akumulasi tekanan terus menerus. Tanpa sengaja aku menciptakan “drama” bagi kehidupan orang-orang di sekitarku.

Bukan cuma itu, aku sempat mengalami…

Disorientasi hidup dan menyadari arti self-discovery

Aku sempat hilang arah dalam hidup ini.

Bingung mau jadi apa,
Mau ngapain aja.
Mau ke mana.

Sempat tak bertujuan, aku sempat habiskan waktuku di hidupku untuk main-main, senang-senang, dan menghamburkan uang.

Sampai di suatu titik kehidupan, aku mulai bertanya pada diriku:

Sampai kapan mau begini terus?

Sadar akan semuanya, aku tidak bisa hidup dengan cara seperti ini, hingga aku:

Eksplorasi minat dan bakat

Aku mulai menekuni hobi lama: berolahraga Muay Thai, menggambar sketsa di atas kertas, menulis puisi, dan bernyanyi di cafe. Aku melakukan itu semua untuk menggali semua potensi diri.

Tak jarang, aku memamerkannya di media sosial guna mendapatkan pengakuan.

Ini tidak salah, karena motivasiku adalah diakui dan diberikan penghargaan. Yang salah adalah: aku berhenti melakukan hobbyku ketika aku tak mendapatkan validasi.

Sehingga aku putuskan untuk konseling ke Psikolog, karena…

Psikolog berperan dalam perjalanan self-discovery

Semula kukira, peranan psikolog hanya sebagai “teman cerita” atau tempat berkeluh kesah.

Hingga di suatu titik, aku berdiskusi kepada rekan kerjaku, bahwa psikolog lebih dari sekedar itu. Mereka mampu untuk mengamati, menganalisa, dan menilai perilaku serta unsur psikis kita.

Aku yang semula ragu, menjadi mau dalam memaksimalkan potensi diri.

Ternyata, aku punya kemampuan untuk menyelesaikan terapiku dalam kurun waktu 3 bulan: Mei-Juli 2023.

Diketahui bahwa aku sendiri punya…

Isu emosional dan trauma

Tak heran, isu trauma masa lalu yang menjadi penyebab.

Hal inilah yang menjadi sebab dari semua amarah, semua watak yang sulit dijelaskan, dan semua tangis yang mendadak keluar.

Di setiap hari, siang dan malam, trauma itu berkeriapan, menunggu saat dia “keluar” dari sarangnya.

Aku sendiri berharap, traumaku tidak menimbulkan suatu masalah, yang merepotkan banyak pihak.

Sehingga, aku datang ke psikolog dengan…

Tujuan dan harapan yang jelas

Saat itu, sekurang-kurangnya aku menemukan tiga buah tujuanku mendatangi psikolog:

  1. Ingin lebih kenal dan sayang dengan diri sendiri.
  2. Mau menggali dan mengerahkan semua potensi diri.
  3. Ingin hidup di tengah-tengah masyarakat dengan batasan sosial yang sehat.

Harapannya, aku bisa menemukan diriku secara utuh, yang mana aku tahu cara harus merespon trauma dan kenangan buruk itu.


Disinilah ceritaku dimulai.
30 hari menuju self-discovery adalah bentuk ekspresi sekaligus rekapitulasi dari perjalanan jiwaku dalam menemukan diri.

Simak diriku bercerita selama tiga puluh hari penuh.


#30DWC #30DWCJilid44 #Day1

Menemukan Makna Kehidupan Melalui Tulisan

“Kematianku tak lebih dari seperti saat seorang penyair menuliskan tanda titik pada akhir kalimat sajaknya.”

Leila S. Chudori dalam Laut Bercerita

Aku mengangkat kutipan ini dari novel Laut Bercerita, novel favoritku. Bukan hanya pengarang, gaya penulisan, ataupun tokoh-tokohnya yang membuatku jatuh cinta. Aku juga jatuh cinta pada kutipan-kutipan yang antik, yang tersebar di seluruh halaman novel.

Membicarakan kehidupan, kamu dan aku sepakat bahwa ada kematian.

Jika hidup ini adalah kumpulan sajak, maka kematian adalah tanda titik dengan baris-baris kosong yang mengikutinya.

Jika kita hidup untuk berkarya, maka ketika kita mati, tidak ada lagi karya-karya kita.

Dengan berkarya, orang-orang di dunia ini akan mengenal nama kita, setidaknya untuk beberapa lama. Lain halnya sang legenda, yang namanya tetap hidup di sepanjang usia. Tetapi tanpa perlu menjadi sang legenda, kamu tetap istimewa.

Iya, kamu istimewa :). Itulah sebabnya kamu dilahirkan ke dunia, sebagai manusia.

Kita tidak dilahirkan ke dunia karena kita telah memiliki jasa atau berharga di mata orang tua. Justru kita menjadi berharga, karena kita dilahirkan ke dunia sebagai manusia.

Sebagai manusia, aku menghargai makna kehidupan secara utuh, lewat jalan menulis. Bagiku menulis adalah sarana pengembangan diri yang murah, bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja, serta tahapannya dapat dimonitor secara berkala.

Aku akan membagikan pemikiranku, bagaimana aku menemukan dan menghargai makna kehidupan lewat tulisan. Yuk, kita diskusi sejenak lewat beberapa baris buah pikiranku.

Menulis Berarti Mengukir Sejarah

Kamu pasti punya tulisan. Baik itu puisi, prosa, kutipan, resensi buku, ataupun hanya sekadar curhat ceria di media sosial. Instagram, Facebook, atau Twitter mungkin.

Tulisan-tulisan ini adalah bukti sejarah hidupmu. Sadari bahwa dalam hidupmu ada sejumlah kisah. Baik itu kisah senang, sedih, kecewa, marah, atau takut. Dengan menyadari hidupmu yang telah mengalami banyak peristiwa, kamu juga ikut sadar bahwa kamulah sang pelaku sejarah.

Sejarah mana yang akan kamu bagikan? Itu adalah pilihanmu.

Apakah kamu akan terus-terusan membagikan semua tentang dirimu, dan mengalihkan fungsi media sosial menjadi buku harian digital yang dapat dibaca oleh banyak orang? Atau kamu mau membuat tulisan yang menginspirasi banyak orang?

Nah, selagi kamu memikirkannya, aku akan membagikan sedikit mengenai diriku.

Bagiku, menulis artinya mengukir sejarah. Ketika aku meninggalkan tulisanku di media apapun, orang menyadari bahwa aku hidup.

Ketika aku membagikan tulisanku, orang lain menyadari bahwa aku benar-benar ada di dunia.

Bukan hanya itu, ketika aku mellihat postinganku terdahulu, aku dapat melihat diriku dari waktu-ke-waktu. Aku bisa menerawang jauh ke bagian masa laluku, bisa melihat seberapa jauh perbedaanku dengan aku yang dulu.

Kamu sendiri bagaimana? Sebagai pelaku sejarah apakah kamu telah meninggalkan banyak kisah dalam media digital? Atau kamu sudah melihat perbedaanmu dengan kamu yang dulu?

Tulisan Memberi Dampak Bagi Banyak Orang

Saat aku menulis dan membagikan tulisanku, aku merasakan dampak bagi orang-orang di sekitarku.

Kita mulai dari dampak negatif dulu. Saat aku membagikan keluhan terhadap sesuatu, atau membagikan ujaran kebencian, maka orang-orang di sekitarku akan terpengaruh. Mereka menjadi ikut mengeluh, prihatin, atau bahkan marah.

Tetapi bila aku membagikan hal-hal yang menyemangati orang lain, motivasi hidup, atau lelucon ringan, orang-orang akan menjadi lebih positif. Mereka tidak hanya merasa bahwa aku adalah orang yang berkepribadian baik, namun juga bisa ikut termotivasi dengan apa yang aku bagikan.

Kamu sendiri bagaimana? Apakah media sosialmu sudah memberi dampak bagi orang lain? Apakah kamu hanya sekadar mengeluh dan membuat orang lain ikut-ikutan mengeluh? Atau kamu mau mengubah dunia menjadi lebih baik lewat tulisanmu?

Menulis Membantumu Menyembuhkan

Sadar atau tidak, kita hidup membawa luka-luka.

Entah itu di dalam pekerjaan, keluarga, atau hubungan asmara, kamu pasti pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan.

Saat aku membaca salah satu akun Twitter, aku melihat pesan berikut:

Saat kita ingin menyembuhkan luka, pahami dulu bagian mana yang harus disembuhkan.

– N.N

Luka fisik, luka batin, prinsipnya hampir sama. Bila kita ingin menyembuhkan luka, kita harus tahu letak luka tersebut di mana. Dengan begitu kita mengetahui cara menyembuhkannya.

Beberapa orang tidak bisa menyembuhkan luka mereka karena mereka tidak tahu letak luka mereka di mana. Apa yang menyebabkan, dan pengalaman apa yang melahirkan luka mereka.

Hai kamu, yang mungkin sedang terluka atau pernah terluka. Yuk rehat sejenak. Sadari bahwa kita hanyalah manusia. Kita boleh merasa rapuh dan lemah.

Kamu bisa mengambil penamu dan mulai menulis di atas kertas. Atau kamu juga bisa memanfaatkan sarana digital seperti HP, komputer, laptop, untuk membantumu memeriksa isi hati.

Lewat tulisan, kamu bisa memeriksa apa yang salah dalam dirimu. Kamu bisa menanyakan ke dirimu mengapa kamu merasa sedih, mengapa kamu merasa kecewa atau marah.

Kamu tetap bisa, lho menjadi dirimu sendiri saat menulis. Karena saat kamu menulis, hanya ada kamu dan dirimu. Tidak ada yang akan menghakimi atau mengomentari kamu.

Teknik ini disebut Journaling. Aku sendiri sering melakukannya. Saat-saat journaling adalah saat-saat paling mengharukan. Mungkin kamu akan menangis juga, sama sepertiku.

Mengapa menulis untuk kesembuhan sangat penting?

Karena hidup ini hanya sekali. Untuk bisa bangkit dan keluar dari situasi terpuruk kita memerlukan suatu keberanian. Dengan begitu, kita bisa sembuh dari luka-luka dan kita bisa menghargai makna kehidupan sejati.


Nah, tiga hal di atasadalah caraku untuk menemukan makna kehidupan melalui tulisan. Kamu dapat menemukan juga hidumpu yang kaya makna dengan menjawab tiga pertanyaan ini:

  1. Dengan menulis dan mengunggah tulisan kamu ke media sosial, kamu menyadari dirimu sebagai elemen yang tak terpisahkan dari sejarah. Sejarah mana yang akan kamu ceritakan atau kamu tulis?
  2. Dengan menulis di media sosial kamu telah memberi dampak bagi orang yang membaca tulisanmu. Dampak seperti apa yang akan kamu bagikan?
  3. Dengan menulis di buku harian atau catatan kamu, kamu bisa memeriksa dirimu dan menemukan luka-luka yang tersamar. Apakah kamu berani bangkit untuk sembuh dari luka-luka itu dan menghargai kehidupan lebih dari sebelumnya?

Sebelum aku mengakhiri tulisanku, aku mau memberikan kutipan spesial untukmu:

Hidup ini singkat. Sayang bila kita tidak memanfaatkan hari ini untuk mengukir sejarah, untuk memberi dampak, dan untuk sembuh dari luka-luka masa lalu.

Damar Parthasiwi

Yuk, sama-sama kita belajar untuk menghargai makna kehidupan lewat tulisan 😊

#30DWC #30DWCJilid39 #Day1