Tindakan vs Rasa Takut, Mana yang akan Menang?

“Ayo Damar, sedikit lagi”, kata Mario temanku menyemangati.

“Dikit lagi Mar, jangan nyerah di tengah terus jatuh,” kata Aquino.

Perjuanganku melewati titian tali sepanjang 5 meter itu sulit sekali. Kendati begitu, langkah kaki kecilku tak mudah menyerah. Walaupun aku hanya anak kelas 5 SD, akan kuhadapi semuanya. Tentu saja tanpa menangis. Akan kulewati jembatan tali tambang ini hingga aku sampai ke pos seberang.

Keringatku mengucur deras. Tangan dan kakiku gemetaran. Aku tidak mau dipandang sebagai pengecut hanya karena aku menyerah dari permainan titian tali ini. Menyeberangi tali tambang raksasa dengan alat pengaman dan hanya bermodalkan tali gantung dengan jarak satu meter, bagiku ini hanyalah secuil kecil dari neraka.

Tapi aku merasa, titian ini panjang tak terhingga. Berapa lama aku di sini? Satu jam? Seharian? Kurasa yang hanya bisa kulakukan adalah terus berjalan sedikit demi sedikit.

Aku tahu aku takut, tapi di sini tidak ada Ibuku. Di sini hanya ada mama temanku, dan teman-temanku. Aku tidak bisa menangis dan memeluk orang asing, benar kan? Tapi entah kenapa yang aku rasakan adalah rasa takut yang luar biasa.

Kepalaku kuputar ke bawah dan aku melihat jaring putih membentang, dari ketinggian sepuluh meter ini. Apakah kalau jatuh aku akan mati? Atau apakah aku akan cedera dan masuk rumah sakit?

Kurasa tidak. Itu hanya asumsiku belaka. Aku memandangi kawat sling ini dan sepertinya kawat ini masih sanggup menahan beban anak kelas 5 SD, tidak termasuk beban ekspektasi kedua orangtuanya. Hehe, bercanda.

Kupandangi lagi jalanan di depan. Sepertinya aku hanya berjarak 2 meter lagi untuk sampai pos seberang. Aneh, aku sudah melewati setengah jalan ternyata. 

“Sudah” atau “baru”? Karena aku merasa sudah berjam-jam berlalu di sini. Yang bisa kulakukan cuma menggeser sepatu sandalku dengan merek HomyPad, inchi demi inchi. Benda itu bergeser di tali tambang dengan kasarnya. Pertanda bagus aku tidak akan jatuh terpeleset ke bawah jaring. Lagipula ini permainan kan? Kalau aku kalah, lalu kenapa? Aku tidak akan di -drop out dari sekolah. Paling-paling cuma ditertawai teman-teman hingga lulus nanti.

Sorak sorai dari kawan-kawan semakin menderai. Aku yang kelelahan, berdebar-debar, dan berkeringat mulai sedikit tersenyum. Aku jarang tersenyum ketika menghadapi kesulitan.

Aku percaya aku bisa melewati neraka kecil ini. Dalam hati kecilku, aku sudah kepingin pulang sejak tadi. Bahkan ingin tidur di dalam selimut. Namun, tiada petualangan yang aku rasakan tanpa adanya semangat mengambil risiko. Ibuku pasti melindungiku kalau tahu ada permainan menantang ini. Namun ibuku mempercayakan aku kepada Bu Lina, mama dari temanku, Dita. Beliaulah yang mengundang kami semua dalam Outbond bersama geng bermain kami.

“Ya! Aku hampir sampai,” kataku sumringah melihat tali tambang yang kini hanya 1 meter jaraknya dari pos ujung. Para petugas Outbond sudah bersiap siap melepas Safety Harness milikku. Mereka juga memberikan semangat. Terikan kawan-kawan semakin kencang.

“DAMAR! DAMAR! DAMAR!” pekik penonton semakin kencang. Ini bukan perlombaan. Bagiku ini hanya bentuk penyemangat karena tidak semua orang mampu melewati neraka kecil seperti ini. Sebentar, neraka itu jahat dan kejam kan? Apakah aku merasa tersiksa dengan melewati titian tali tadi?

Dengan jarak 40 cm dari ujung pos, aku melompatkan kakiku ke pos penjagaan. Aku ketakutan bercampur gemas. Aku ingin segera menyelesaikan permainan ini, namun di dalam hati aku juga takut. Bagaimana kalau aku jatuh di atas jaring atau para petugas lupa menarik badanku, dan aku terjatuh di atas tanah tanpa pengaman?

Kumpulan skenario palsu itu hanya jadi imajinasiku. Dengan diriku mendarat kini di pos seberang, detak jantungku kembali normal dan aku menyeka keringatku dengan leluasa.  Puji Tuhan semuanya lancar dan baik.

***

Dari cerita pengalaman nyata di atas, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil:

– Tindakan, walaupun sangat kecil, apabila konsisten dilakukan akan mencapaikan kita pada tujuan

– kita tak bisa merasakan takut, jika kita terus bertindak. Sebaliknya. Kita akan akan terus merasakan takut jika kita tidak bertindak.

– kumpulan skenario palsu hanyalah imajinasi belaka. Ada kalanya pengambilan risiko harus dilakukan, agar kita bisa mencapai tujuan lebih cepat. Hanya membayangkan skenario terburuk tanpa memutuskan, sama saja menunggu waktu terus berjalan tanpa menghasilkan apapun.

Anggaplah dunia ini atau mungkin dunia usaha sama seperti bermain outbond, titian tali. Dengan manajemen risiko dan langkah yang tepat, kita bisa mencapai tujuan organisasi.

Tak hanya usaha, mungkin juga dunia perkuliahan, dunia anak sekolah, dunia orang berkeluarga. Dunaiku, dan duniamu.

Lantas, tindakan dan rasa takut bila diadu siapa yang menang?

Jawabannya, tentu saja yang mana yang kita perjuangkan. Bila kita mengupayakan terus membuat tindakan, maka rasa takut akan hilang perlahan. 

Bila kita diam, duduk, dan rasa takut menelan kita, maka tidak ada tindakan yang bisa dilakukan.

Jadi, sudahkah kita bertindak untuk melawan rasa takut kita?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *