Self-Confidence Tumbuh dari Self-Acceptance

Teringat kembali beberapa bulan terakhir. Kala itu aku sedang mengikuti Dale Carnegie -Fundamental Leadership Program. Sebuah program pelatihan kepemimpinan dasar yang dilakukan oleh orang-orang lintas usia dan profesi. Diformulasikan sedemikian rupa, hingga membentuk suatu kurikulum belajar yang kondusif dan menyenangkan.

Adapun ketika itu, aku sedang bekerja di perantauan. Sedang berjuang dalam karir untuk menumbuhkan kepercayaan bos setelah sekian lama dicap underperform. Maksud hati ingin memperbaiki diri, program traininglah yang aku cari.

Teringat suatu tugas, untuk membuat sebuah cerita tentang bagaimana aku bisa menghargai life defining moment. Cerita yang kuceritakan adalah saat masih TK.

***

Ketika itu, hari Jumat Siang. Aku masuk ke acara makan bersama teman-teman TK. Lauk hari itu adalah telur dadar dan sayur lodeh. Kami semua makan dengan gembira. Tanpa disangka aku banyak cakap dan sedikit mengunyah.

Tiba saatnya kami mau selesai, piringku masih tersisa banyak. Teman-temanku sudah mulai habis dan mengembalikan piring. Aku langsung memberikan separuh piringku kepada temanku yang sudah habis porsi nasinya.

Ternyata, dia mengadu kepada ibu guru dan aku dijewer. Kala itu aku harus menghabiskan porsiku sendirian.

Sendirian, hanya sendirian.

Teman-teman bergerak meninggalkan ruang kelas menuju aula, karena ibadah hari jumat sudah dimulai. Aku yang ketakutan karena tidak habis segera menghabiskan porsiku. Dan saat ruangan kelas sunyi, aku menangis, seorang diri.

Di titik ini aku merasa, orang-orang jahat dan meninggalkanku.

Entah dari mana, tiba-tiba aku mendapat siraman rohani dan jiwaku tersadarkan. Aku harus berani bertanggung jawab akan apa yang sudah aku lakukan. Aku harus menghabiskan piring ini hingga tuntas.

Suap demi suap, lauk demi lauk aku habiskan. Hingga habis, tak bersisa.

Aku lari tergopoh-gopoh karena mengejar ibadah yang aku khawatirkan sudah selesai. Syukurlah aku masih bisa beribadah.

Selesai ibadah, aku bersalaman dengan guru dan aku segera berlari memeluk ibu yang menjemput. Ternyata, orangtuaku sudah menunggu sejak tadi.

***

Kala itu, aku bercerita kepada teman-teman, bahwa yang terpenting dari cerita ini adalah mengambil tanggung jawab atas apa yang sudah diperbuat. Dalam ceritaku ini, aku mengambil tanggung jawab untuk menghabiskan nasiku sendiri yang sudah aku ambil.

Di dunia pekerjaan, tentu kita mengambil “porsi” pekerjaan yang bervariasi bukan? Dan saat aku harus mengambil porsiku untuk makan nasi, saat itu juga aku harus mengambil tanggung jawabku untuk menghabiskannya.

***

Pemateri menyampaikan, bahwa menceritakan life defining moment tentu saja tidak mudah. Terkadang, perlu usaha keras untuk menggali dan menceritakan pengalaman tersebut tanpa malu. Kita harus berjuang dan berusaha, agar kita tidak membuatnya suatu hal yang memalukan di depan publik, tetapi suatu panggung hiburan yang bisa dinikmati.

Saat aku mengingat pengalaman memalukan itu, aku menerapkan self-acceptance atau penerimaan diri. Saat itulah aku harus bisa menerima diriku yang kala itu menangis. Sehingga aku tidak boleh untuk mengutuki diri dan takut akan ditertawakan.

Ternyata, self-acceptance ini menumbuhkan self-respect. Dengan menerima masa lalu, kita bisa menumbuhkan rasa hormat pada diri sendiri. Kita menjadi tahu, sejauh mana teman-teman bebas menertawakan atau mengomentari.

Dengan self-respect, kita juga menumbuhkan self-confidence. Itu sebabnya saat aku bercerita, aku bercerita dengan lantang dan tentunya dengan ekspresi yang memadai. Saat adegan menangis, aku pura-pura menangis tersedu-sedu.

***

Untuk menumbuhkan self-confidence, kita harus menyadari kelebihan dan kekurangan kita. Dengan begitu tiap kali ada orang ingin menertawakan atau menyerang kelemahan kita, kita sudah lebih mengetahui. Kita bisa saja marah, namun bentuk penerimaan diri adalah bagaimana kita bisa menerima segala bentuk rangsangan dari luar dengan lapang dada.

Dan hidup dengan leluasa, seperti tidak ada beban di dada.
Bermula dari penerimaan diri, hingga kepada kepercayaan diri.
Semua ini dalam rangka menuju penemuan diri yang utuh.

Luka dan Trauma serta Cara Melepaskannya

Dari judulnya saja, kelihatannya sebuah tips dan trik jitu. Sebenarnya tidak jitu-jitu amat sih. Ini adalah suatu cerita pengalaman, dan sharing pribadi mengenai bagaimana aku bisa hidup untuk hari ini dan seterusnya, dan keluar dari bayang-bayang masa lalu.

Luka dan Trauma memang tidak bisa dipisahkan dari masa lalu. Setiap orang, punya masa lalu yang suram terlepas dari mereka baik atau jahat. Semakin lama aku hidup di dunia, semakin aku sadari bahwa pribadi manusia tidak ada yang sempurna. Dalam kebaikan, ada kejahatan. Dalam kejahatan, ada kebaikan. Itulah kehidupan.

Aku pernah mengalami kepahitan hati setelah mengingat-ingat orang yang pernah melukaiku. Mulai dari orangtua, sahabat, teman, mantan, atau atasan kerja. Mereka semua orang yang baik, hanya dalam satu atau dua kondisi, mereka menebarkan luka ke arahku.

Setiap kali aku mengingat wajah mereka, rasanya aku amat sangat terluka. Aku tercabik-cabik, dan ingin merobek-robek wajah mereka.

Tak sobek-sobek mulutmu. (Seperti Tukul Arwana)

Faktanya, emosi itu datang dan pergi. Semakin aku memendamnya, semakin pula ia bergerak ingin keluar. Dan saat dia keluar di saat tak terduga, di situlah aku bisa menjadi monster yang amukannya luar biasa.

Perjalanan “sembuh” seseorang berbeda-beda. Dan tentunya luka itu datang dan pergi. Kadang ia memasuki ruang-ruang angan, bilik hati. Kadang pula ia pergi jauh, sejauh mungkin.

Yang terpenting, adalah bagaimana caranya kita menerima perasaan tersebut. Menerima bahwa diri ini terluka, dan kecewa. Sakit hati, dan sedih. Kita harus ingat bahwa dalam pelaksanaannya, proses penyembuhan itu berputar seperti pusaran air. Kadang kita terluka, kadang kita sembuh.

Yang kita lakukan adalah memerhatikan pusaran tersebut, hingga hilang. Kita tidak perlu melawan, kita hanya perlu mendengarkan jeritan hati terdalam kita.

Menerima berarti melepaskan. Melepaskan bukan menentang dan menolak segala bentuk emosi negatif. Kita hanya bisa menerimanya, dan membuatnya pergi sendiri.

Kendati begitu, efek trauma sangat dahsyat. Bisa membuat orang menyakiti fisik dan mentalnya. Ini bisa kita atasi dengan cara duduk tenang, dan mendengarkan seluruh jeritan hati kita sambil menulis. Proses ini disebut jurnaling.

Dalam kasus-kasus khusus, kita harus meminta bantuan profesional ketika diri ini tidak sanggup lagi. Dunia diciptakan bukan cuma untuk sendiri, tetapi untuk bersama. Itulah sebabnya kita butuh mereka: para Psikolog Klinis.

Pada akhirnya, segala luka dan trauma hanya anugerah sementara kita hidup di dunia, sebelum merasakan kebahagiaan kekal di Surga. Dalam prosesnya, kita bisa saja menerima, kita bisa saja menentang.

Saat kita berkeinginan untuk membalas dendam atau melukai orang lain karena diri kita sempat terluka, ingatlah bahwa kita bisa hidup tanpa luka.

Kita bisa memilih untuk tetap menebar kebahagiaan. Dengan begitu, akan lebih banyak orang menyadari anugerah hidup mereka.

Ketika kita teringat akan luka, maka kita juga harus ingat bahagia. Ketika kita teringat akan trauma, kita harus ingat bahwa ada sukacita.

Akan ada secercah sinar mentari untuk hari-hari esok yang cerah dan penuh pengharapan. Pasti ada masa depan yang cerah, untuk pribadi kita masing-masing yang penuh luka.

Tentang Ketakutan dan Kecemasan

Rasa takut dan cemas itu lumrah di diri kita semua. Kamu dan aku, bahkan kita semua yang membaca tulisan ini pernah mengalami rasa takut. Takut setan, takut ujian, takut ditinggalkan, dan banyak alasan takut lainnya.

Demikian juga rasa cemas. Biasanya kita cemas akan sesuatu yang belum pasti terjadi. Semakin besar ketidakpastian, semakin besar kecemasan.

Apakah rasa takut dan cemas dalam diri kita semua valid? Ya tentu, setiap emosi yang kita rasakan valid adanya. Apa yang kita rasa, biasanya adalah cerminan diri.

Aku merasakan takut ketika ada ancaman dari luar. Misalkan, aku takut ujian ketika belum belajar. Yang menjadi ancaman bukanlah ujian, melainkan nilai yang jelek.

Aku merasakan cemas ketika ada hal yang tidak mudah aku pastikan. Misalkan, ada soal ujian yang belum pernah aku pelajari namun keluar. Aku cemas karena aku belum tahu apakah jawabanku benar atau salah. Sehingga nilaiku menjadi tidak pasti.

Dalam upaya pengenalan diri, apa sih yang membuat kita bisa lebih paham sumber rasa takut dan rasa cemas kita? Bagaimana sih cara mengatasi rasa takut dan cemas tersebut?

Identifikasi sumber rasa cemas dan takut

Cara paling mudah mengidentifikasi rasa cemas dan takut adalah dengan menuliskannya. Cobalah ambil selembar kertas di buku harian ataupun catatan kerja, dan menuliskan dalam bullet point hal-hal berikut:

  • Apa yang membuatku cemas / takut?
  • Mengapa aku merasakan cemas / takut?

Tuliskanlah secara jujur. Tuliskan untuk diri kita sendiri. Biasanya aku bisa menulis empat kalimat untuk mencari sumber cemas / takutku.

Pikirkan kemungkinan terburuk

Kalau kita seringkali menolak kemungkinan terburuk, maka solusinya adalah memikirkannya.

Lho kok bisa?

Bisa saja. Karena, dengan kita memikirkannya, kita bisa lebih siap jika hal itu benar-benar terjadi. Namun apabila tidak terjadi, maka kita akan lega. Tidak dibayangi trauma ataupun bayang-bayang rasa takut.

Maka tuliskan di buku jurnal kita sebagai berikut.

  • Apa yang terjadi apabila rasa ketakutanku benar-benar terjadi?
  • Apa hal yang ditakutkan atau hal paling ngeri dari kejadian tersebut?
  • Konsekuensi apa yang harus aku tanggung?

Kesiapan dimulai sebelum terjadinya bahaya, bukan ketika bahaya sudah terjadi. Ketika kita merasakan cemas, otak kita cenderung menangkap hal-hal negatif dari luar. Hal-hal negatif itu bisa terjadi, bisa juga tidak.

Kita tak bisa menahan otak untuk tidak menangkap gelombang tersebut. Kita juga tidak bisa untuk menolak semua rasa tersebut. Kita hanya bisa meredamnya dan meminimalisir dampaknya.

Contoh nyatanya adalah, biasanya aku mencoba untuk bercakap atau berbicara pada orang lain mengenai rasa takut dan cemasku. Biasanya setelah bercerita, aku menjadi lebih tenang dan siap jika hal itu benar-benar terjadi.

Kesiapan menghadapi ketakutan dan kecemasan kita

Seberapa siap kita jika hal itu benar-benar terjadi?

Hal inilah yang kita tulis di buku harian atau jurnal pribadi kita. Tuliskanlah dari skala 1-10, seberapa siap kita jika rasa takut maupun cemas kita terwujud pada suatu kejadian buruk.

Apakah kita benar-benar siap? Jika belum, apa yang akan kita lakukan?

  • Langkah Preventif : apa yang bisa kita lakukan untuk bisa mengurangi dampak buruk tersebut.
  • Langkah kuratif : apa yang kita lakukan apabila dampak buruk tersebut sudah benar-benar kejadian.

Marilah kita kembali menerima rasa takut dan cemas kita. Karena sesungguhnya emosi-emosi tersebut, kendati tidak nyaman untuk dirasakan, adalah anugerah Tuhan.

Dengan menerimanya, kita punya mekanisme tertentu untuk mengatasi ketidakpastian atau ancaman dalam hidup kita. Hidup lebih terkendali, dan hati juga lebih happy.

Batasan Personal

Pernah dengar lagu “Putus nyambung” karya “Bukan Bintang Biasa”? Kalau iya, selamat berarti kita sepantaran. Wkwkwk. Kalau kurang familiar, berarti kita di generasi yang berbeda. šŸ˜

Di lagu tersebut, terdapat suatu lirik yang sangat terkesan:

Putus nyambung, putus nyambung, putus nyambung
Kalau dekat, benci, kalau jauh, kangen
Lihat saja nanti, apa yang terjadi
Putus ataukah nyambung?

Ini cukup menjelaskan relasiku dengan beberapa orang terdekat: sahabat, pacar, orangtua khususnya Ibu. Kalau di dekat, kami sering sekali bertengkar. Bukan hanya dekat secara jarak, namun juga secara kebiasaan chatting / menghubungi. Kalau menghubungi secara intensif, akan tiba suatu saat kami akan berdebat hal-hal sepele.

Aku pernah mengira, bahwa aku merupakan orang yang kurang pandai membangun hubungan interpersonal. Sampai suatu saat aku merasa bahwa yang kubutuhkan adalah batasan.

***

Batasan, atau bisa disebut Boundaries, adalah sejauh mana kita mengizinkan orang lain memasuki hidup kita. Ini bisa berupa permintaan tolong, percakapan, topik pembicaraan privasi, hingga mengadakan janji temu. Batasan adalah cara kita untuk membuat safe zone antara kita dengan orang lain.

Fenomena “putus nyambung” atau sering berantem di saat dekat dan jarang berantem kalau sedang jauh-jauhnya di atas adalah suatu tanda di mana “kurang terdapat batasan yang sehat.” Aku pribadi memiliki batasan yang jelas terhadap orangtua, teman, sahabat, pacar, dan orang asing. Namun kegagalanku mengemukakan batasan di awal, menjadikan aku mudah untuk marah dan menyerang orang lain yang melanggar masuk ke batasanku.

Menurut ilmu Psikologi Adler di mana tujuan-tujuan hidup kita, didekatkan pada nilai-nilai teleologis atau sebuah tujuan, maka “marah” bukanlah tujuan. Tujuan dari kemarahan tersebut, adalah agar orang lain tidak mengusik kita lagi dengan kegiatan mereka. Sehingga marah lebih cocok disebut sebagai sarana.

***

Aku pribadi lebih menyukai tinggal sendiri seperti tingggal di kos atau kontrakan sendirian. Karena ketika aku bersama dengan orang lain, ada nilai-nilai yang harus sejalan dengan mereka. Bila nilai tersebut bermaksud menertibkan atau menyeleraskan kehidupan bersama, maka itu akan sangat bermanfaat. Namun tidak bila nilai-nilai itu hanya merusak atau menggoyahkan integritas diri.

Aku bisa mengatur kapan aku berangkat, kapan aku pulang kerja, kapan aku makan, kapan aku beristirahat. Aku bisa membatasi topik percakapan yang masuk.

Sehingga aku bukanlah orang yang mudah bersosial dengan rekan kerja di luar kantor. Aku selektif dalam memilih topik obrolan, teman mengobrol, ataupun tempat mengobrol.

***

Aku kurang suka ditanya-tanya tentang kapan menikah, tentang gaji dan pekerjaan orangtua, maupun hal privasi lainnya. Ketika ada seseorang yang melakukannya, maka responku adalah menghindari pertanyaan tersebut.

***

Itulah contoh-contoh batasan. Batasan yang sehat, dan yang jelas. Dengan hidup memiliki batasan, kita bisa menjaga kewarasan kita dan tentu saja kita akan lebih mencintai diri sendiri.

Ketika Penulis Daring menjadi Penulis Buku Fisik

Penulis online sejak aku bisa terhubung ke dunia maya. Mungkin adalah gelar yang cocok disematkan kepadaku. Yup. Akulah penulis daring itu. Aku menulis sejak zaman Facebook mulai booming.

Perbedaan dahulu dengan sekarang, kalau dahulu lebih banyak konten mengeluh atau kutukan atau kecaman, sekarang lebih kepada sharing ilmu, pengalaman, insight yang unik. Kalau dahulu fokus kepada kejadian, sekarang fokus kepada pembelajaran.

Hasrat untuk menjadi penulis semakin besar, ketika timbul pertanyaan di kehidupan: kapan aku menerbitkan atau berkontribusi dalam sebuah buku, ya?

Hasrat itu semakin menjadi ketika tahun 2023 ini akan segera ditutup. Panggilan itu semakin kuat, yang mengatakan : aku harus punya karya sendiri.

Hari demi hari kujalani, tentu saja dengan membawa segala bentuk memori, kenangan, dan cita-cita. Aku harus segera menulis. Aku harus segera mengumpulkan naskahku.

Satu persatu kompetisi kuikuti. Tanpa disangka, satu kompetisi bisa mengundang rezeki. Festival Cerpen Polmed #2 yang menghantarku kepada kesempatan lanjutan.

Tibalah saatnya diriku menunjukkan sinarku. Dan kini aku berkarya lewat cerpenku yang berjudul Memeluk Diriku Kembali.


Puji Syukur kuucapkan kepada Tuhan, karena aku berhasil meraih juara satu dalam kompetisi ini. Dalam karya ini, aku termasuk salah satu peserta yang berkesempatan mendapatkan uang tunai, piagam, dan buku gratis.

Bukan hanya itu, aku juga memiliki karya untuk kupublikasikan. Dan bentuknya adalah buku fisik, sehingga setiap orang bisa memegang dan membacanya.

Apakah artinya aku harus beralih ke sektor retail dan mulai menulis buku-buku fisik? Siapa sangka, ternyata kesempatan ini menguatkanku untuk menulis dan terus menulis šŸ™‚

Puji Tuhan sekali lagi.
Terima kasih atas kesempatan yang Engkau berikan kepadaku.

Terima kasih atas segala support dari orang terdekat: Pacar, Sahabat, Teman, dan kelompok belajar tercinta.

Interpersonal dan Intrapersonal

(maaf buru-buru, lagi ngejar deadline tugas)

Banyak orang mengatakan bahwa kemampuan interpersonalku cukup baik, dibanding intrapersonal. Faktanya tidak demikian. Justru sebaliknya, aku merasa kemampuan intrapersonalku yang lebih baik.

Aku bisa melakukan banyak hal dalam regu, karena aku tahu cara melakukannya. Melalui berbagai training, program soft-skill, hingga membaca banyak podcast, aku berlatih untuk bisa meningkatkan kemampuan interpersonalku.

Seperti public speaking, presentasi, leadership, memberikan pujian kepada orang lain. Itu semua aku pelajari ilmunya dan aku latih. Bukan memang dari watak asliku. Karena watak asliku bisa jadi tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pelatihan itu.

(harusnya ada paragraf penghubung di sini)

Aku lebih suka untuk mengenal diri sendiri dan mendalami kemampuan diri, dibandingkan orang lain. Itu menyenangkan, dibanding menghadapi dan meladeni manusia-manusia ajaib setiap harinya.

Aku sering melakukan banyak hal bersama dengan diri sendiri. Contohnya mengerjakan tugas, menulis laporan kinerja, menggambar, mendengarkan musik, makan, dan bahkan ke bioskop. Aku jadi mudah mengenali apa yang aku suka dan tidak aku suka, masa lalu dan masa depanku, dan apa yang mau aku lakukan setelah ini.

Kadangkala, aku payah dalam mengenali orang lain terutama orang-orang terdekatku. Aku sering sekali bertengkar (dulu) dengan orang terdekat seperti keluarga, sahabat, atau pacar. Kini aku mulai bisa mengenali mereka, namun juga masih suka bertengkar.

Itu sebabnya aku merasa kemampuan interpersonalku masih jelek, di luar pekerjaan. Karena di dalam pekerjaan aku bisa sangat professional, menghandle siapa saja. Aku juga bisa sangat-sangat tidak peduli dengan apapun yang mereka lakukan, karena mereka hanya sebatas rekan kerja. Sehingga aku tidak mungkin sakit hati kalau mereka menyalahkan aku atau memberikan penilaian buruk terhadapku.

Apakah teman-teman juga merasakan hal yang sama?
Kira-kira, kalian lebih mendalami skill interpersonal atau intrapersonal ya?

Mendalami keyakinan personal

(Lagi di mobil, maaf kalau nggak nyambung antar paragraf)

Sebuah keyakinan personal timbul dari kemantapan hati dan nurani. Bukan timbul dari pujian ataupun pengaruh eksternal.

Faktanya, keyakinan personal tidak tumbuh begitu saja, tetapi tumbuh dari alam bawah sadar dan pengalaman masa kecil.

Misalkan, aku punya tendensi bekerja secara sendiri alih-alih bekerja dalam tim. Maka sering stress kalau mendapatkan tim kerja yang tidak professional dan kurang ambisius. Lebih baik bekerja sendiri lalu submit hasilnya. Sebaliknya, kalau mendapatkan tim kerja yang sat set dan profesional saya jadi semangat bekerja.

Keyakinan itu didasari atas dasar performa kerja sendiri di masa lalu yang lebih baik daripada performa lingkungan sekitar. Ini adalah salah satu hal yang buruk.

Mari kita cerita sedikit mengenai pekerjaanku di kantor. Pekerjaanku adalah pekerjaan tim. Aku lebih banyak mengoordinasikan dibanding “hands-on” langsung dengan kerjaan di lapangan. Apabila aku kedapatan tim yang hebat, kerjaanku sangat sangat enteng. Tetapi apabila kedapatan tim yang jelek, maka aku akan jadi sangat stress dan bahkan pekerjaanku lebih banyak.

Aku adalah orang yang sangat “pushing”, “demanding” dan tentunya forcing others to join the line alias “pokoknya manut saya saja”. Di sisi lain watakku ini tumbuh dari parenting ayah. Yang melahirkan watak keras kepala dalam diriku.

Di satu titik kehidupan, kusadari bahwa aku haus dengan pujian dan validasi. Aku terus dan terus menyenangkan orang lain hingga mereka mau menerimaku. Kepada atasan, aku cenderung melakukan lobbying secara mulus hingga aku mendapatkan apa yang kumau : proyek, karir, kepercayaan. Kepada bawahan, aku cenderung menganggapnya teman sehingga mereka mau terbuka denganku dan mau bekerjasama denganku. Aku ingin semua orang kooperatif denganku, sehingga aku mengeluarkan isi dompet untuk kukorbankan sebagai mahar. Kadang oleh-oleh, kadang pula makanan, atau traktiran yang menyenangkan

Ini tentu dua hal yang bertentangan. Di mana hal yang satu, aku cenderung bekerja secara mandiri. Dan yang lain, aku “berpura-pura” agar aku bisa diterima di lingkungan kerjaku.

Psikologku pernah berkata, sesuatu yang datangnya dari dalam diri biasanya lebih kuat daripada sesuatu yang dipaksakan datang. Hal ini berhubungan dengan nilai, konsep, dan keyakinanku.

Kadangkala, aku burnout hanya dengan mengurusi tim kerja yang tidak becus kerjanya. Atau sebal dengan tim kerja yang rewel banget banyak tuntutan di sana sini.

Namun ketika tiba saatnya bekerja mandiri, sesusah apapun pekerjaannya, aku tetep gas pol dan terus berusaha, sampai tujuanku benar-benar terlaksana.

Ketika kita bicara sebuah prestasi kerja, maka yang dilihat adalah hasil. Kadangkala aku membohongi diri dengan semua angka yang kulaporkan di akhir tahun. Bahwasanya itu adalah kerjaan anggotaku. Aku tahu sebenarnya mereka yang penuh kreativitas dan mampu melakukan semua arahanku. Tetapi tidak denganku yang cuma bisa menggantungkan laporan mereka.

Tetapi apabila prestasi itu datang dari dalam diri. Misalkan memenangkan kompetensi atau uji seleksi, maka kepuasan itu dua kali lipat. Karena hasil kerja dengan yang dilakukan sepadan. Dan aku akan lebih puas hati karenanya.

Kita mengarah kepada suatu kesimpulan, bahwa sebenarnya bukan perkara hasil, tampilan luar. Atau validasi yang kita cari. Bagaimana supaya nilai personal itu tetap hidup, sesuai hati nurani. Dan akhirnya menjadi suatu semangat dan gairah penggerak kita setiap harinya.

Dengan menyadari nilai personal dan keyakinan kita, kita menjadi pribadi yang tumbuh setiap harinya. Itulah alasan penemuan diri sendiri beserta segala nilai dan keyakinan menjadi sangat penting.

Stres terkendali, hidup lebih happy

Aku iri dengan anak-anak. Kesannya mereka mudah sekali bahagia. Sesimpel membeli permen atau eskrim dan berlari-larian bersama anak-anak lain. Pandangan hidupku kini beralih dari yang dulunya aku kira menjadi orang dewasa menyenangkan, ternyata tidak seperti yang kubayangkan.

Yang kecil ingin jadi dewasa, yang dewasa ingin jadi anak kecil. Kalo kata ibuku: “urip ki sawang sinawang.” (Hidup itu saling melihat).

Mungkin gambar diriku seperti Squidward Tentacles yang sedang melihat Spongebob dan Patrick berlarian kesana-kemari dari balik jendela. Akulah Squidward itu, dan akulah yang kini melihat kesenangan orang lain dari balik jendela.

Usut punya usut, ternyata aku mudah sekali untuk iri dengan hidup orang lain Hal ini karena aku kurang mencintai diri sendiri dan menerapkan self-love. Aku pribadi juga sering terlibat dalam situasi stress. Hal ini tentu yang merenggut kebahagiaanku.

Stress ini banyak sumbernya: pergaulan, pekerjaan, maupun pasangan. Bahasa gampang untuk menjelaskan stress adalah:

“Pikirannya di masa lalu atau masa depan, badannya di saat ini.”

Seorang teman

Seiring berjalannya waktu, kusadari kebahagiaan itu tidak dicari-cari di luar, tapi menemukan kenyamanan di dalam diri. Dengan mengendalikan stress, kita akan cenderung mencari kedamaian di dalam, daripada mencari hal-hal di luar sana yang malah menjauhi kebahagiaan kita.

Berikut cara praktis asik untuk mengatasi dan mengelola stress ala aku.

Berolahraga secara teratur

Dengan berolahraga secara teratur kita dapat melepaskan beban pikiran dan mengatasi overthink yang berkepanjangan. Kita bisa mengekspresikan diri kita secara bebas dengan menggerakkan badan leluasa. Kita bisa melakukannya sendiri atau dengan orang lain.

Olahraga dapat menjadi salah satu hobi, yang jika ditekuni akan bisa menyalurkan minat dan bakat kita.

Tenangkan pikiran sejenak dengan menulis dan meditasi

Menulis adalah perwujudan untuk mengetahui apa yang kita rasakan dan kita inginkan. Dengan menulis, kita akan lebih terbuka terhadap apa yang sebenarnya membuat kita khawatir. Kita juga bisa lebih transparan dengan diri sendiri, dan kita akan lebih nyaman dengan diri sendiri.

Sementara meditasi adalah cara menenangkan hati dan pikiran dengan keheningan dan konsentrasi. Kita mengatur nafas kita dengan baik, setelah itu melegakan semua sesak dan belenggu di dada.

Kembangkan hobi

Setiap orang sebaiknya punya hobi. Karena dengan begitu, dia memiliki hal yang membuat hidupnya penuh, sehingga dia dapat memiliki gairah kehidupan. Tak peduli kita bagus atau jelek dalam suatu hobi. Bila kita mencintai hobi, kita akan lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya. Ini dapat melegakan stress karena tentunya kita akan lebih antusias dalam menekuni hobi.

Bicarakan keluhan dengan seseorang yang dapat dipercaya

Mengeluh adalah salah satu keunggulan yang bisa dimiliki manusia. Dengan mengeluh, sebenarnya kita tahu bahwa diri kita ini sedang tidak nyaman. Namun tak semua orang dapat menyalurkan keluhan dengan baik. Ada yang mengeluh lewat sosial media, ada yang mengeluh di tempat pekerjaan dan mengganggu lingkungan sekitar.

Tetapi, mengeluh dengan sahabat, atau pacar, atau orang yang kita percayai tentunya akan memberikan kita kenyamanan dan kelegaan. Keluhan yang tersalurkan, adalah bentuk kesehatan mental. Sebaliknya, keluhan yang tak pernah tersalurkan membuat seseorang akan menjadi toxic dengan dirinya sendiri. Bisa-bisa dia akan melarang orang lain untuk mengeluh.

Berdoa

Terakhir dan terutama yang paling manjur ketika semua langkah sudah dilakukan, jangan lupa untuk serahkan kepada Yang Maha Kuasa, Sang pemberi kehidupan dan Sang pemberi kemakmuran.

Kita bisa lebih tenang setelah berdoa, namun bukan berarti masalah kita selesai begitu saja. Begitu kita berdoa dan memperoleh ketenangan, kita bisa memikirkan solusi atas masalah-masalah kita. Dan siapa tahu solusi itu ada dari orang-orang di sekitar kita: teman, pacar, keluarga, kolega kantor, orang asing di jalanan.


Pada akhirnya, semua stress itu berasal dari pikiran sendiri. Karena stress hanya muncul dari trigger di luar, dan hati kita meresponnya sebagai stress.

Stress yang baik akan menghantarkan kita kepada kesuksesan, keseriusan dalam menyelesaikan pekerjaan, dan prestasi. Namun bila kita mengalami stress terlalu besar, kita bisa mengalami kecemasan, bahkan keinginan untuk bunuh diri.

Dengan mengetahui asal penyebab stress dan pengendaliannya, kita bisa lebih menemukan kebahagiaan di hidup kita: misalkan dengan menekuni hobi, berbincangan dengan orang yang kita percayai,

Seni Menemukan Ketenangan di Tengah-tengah Kesibukan

Bayangkan teman-teman sedang berada di suatu hari yang sibuk. Mulai dari bangun pagi, mandi dan melakukan aktivitas harian seperti sarapan atau baca berita. Menjalani satu-persatu to-do-list kita. Menjalankan kesibukan komunitas dan organisasi. Menghadiri rapat demi rapat. Menghadiri berbagai lomba, kegiatan sosial, dan acara komunitas. Kemudian pulang ke rumah untuk tidur, dan beristirahat.

Kita mungkin bisa mengisi ember kehidupan kita dengan semua kesibukan. Isi terus, menerus. Hingga penuh dan mampet, tidak bisa diisi kembali. Mungkin kita bisa memanfaatkan sedikit mungkin waktu dengan menulis sajak, prosa, ataupun buku harian. Mungkin kita bisa mengajak ngobrol teman di cafƩ selama 1-2 jam.

Mungkin, hanya mungkin. Tapi bukan berarti kita bisa dan mau melakukannya, bukan?  Itulah dunia yang serba cepat, dan penuh hiruk pikuk.

Tapi apakah pernah kita memikirkan, bagaimana cara kita untuk berkomunikasi dengan diri sendiri, bagaimana cara kita agar terhubung dengan diri sendiri, dan bagaimana cara kita untuk tetap mengenal diri sendiri di kehidupan yang serba cepat dan padat kesibukan ini?

Inilah seni untuk menemukan ketenangan di dunia yang serba cepat dan penuh hiruk pikuk.

Luangkan waktu untuk beribadah

Teman-teman mungkin berpikiran, kalau ibadah hanyalah pelengkap dan mungkin hanya sebagian dari kehidupan kita yang besar. Namun, jangan lupa asal kita. Semua kehidupan bersumber pada satu titik: Yang Maha Kuasa. Semua kesibukan kita adalah anugerah, karena kita mendapatkannya dari Yang Maha Kuasa. Jangan lupa untuk menyempatkan waktu menyebut nama Tuhan dalam doa-doa kita.

Tidak usah menunggu masuk tempat ibadah. Di manapun, kapanpun. Jangan lupa untuk selalu berterima kasih, bersyukur kepada Tuhan atas segala anugerah dan nikmat yang boleh kita rasakan di hidup ini.

Cobalah untuk memikirkan kehidupan

Mungkin beberapa dari kita sudah terjebak dalam kehidupan itu sendiri. Di mana hidup tak lebih dari sekedar menjalankan rutinitas, menjalankan ritme, dan menjalankan to-do-list. Pernahkah teman-teman semua berpikir, ā€œuntuk apa aku melakukan iniā€ atau ā€œsetelah ini semua usai, apa yang mau aku lakukanā€?

Ketika kita sempatkan waktu untuk merenung sejenak, saat itulah kita dapat memikirkan kehidupan kita. Dan di sanalah kita bisa mencari keinginan terdalam tentang kita.

Meditasi

Cobalah untuk bermeditasi. Cobalah untuk tetap terhubung dengan raga fisik kita terlebih dahulu, sebelum kita memasuki ranah kesadaran dan jiwa terdalam kita. Mulai dari memejamkan mata dan mengambil nafas teratur, mungkin 1-2 menit. Bisa di mana saja, bisa di toilet, ruang meeting, ruang ibadah, ataupun di taman.


Pada akhirnya, semua kesibukan kita harus mengarahkan kita pada suatu tujuan. Kita harus paham, esensi dari kehidupan itu sendiri alih-alih hanya menjadi pelaku, pelaksana, dan pengamat. Cobalah untuk mengarahkan kita pada tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian, kita bisa menjadi apapun yang kita inginkan, yang kita harapkan, dan tentu saja meraih satu demi satu mimpi-mimpi kita.

Self-Discovery dengan Karya Seni

Ingatanku menerawang ke masa-masa SMA. Masa di mana kami bisa bebas mengekspresikan diri, terutama di bidang akademik, olahraga, dan seni. Aku adalah siswa yang tertarik pada bidang seni, salah satunya seni musik. Dari sekian banyak opsi: gitar, biola, piano, vocal group, angklung, dan drum; rupanya seni gitar adalah satu-satunya seni yang memikatku.

Seni Musik, pembuka gerbang pengenalan diri

Apakah aku sangat-sangat jago main gitar?
Jawabannya tidak :ā€). Terutama karena aku masih kaku dalam melakukan transisi antar chord. Kurang hafal chord dan cenderung tekstual dengan buku pedoman bermain gitar. Aku sendiri menemukan bahwa aku hanya bisa sedikit lagu klasik yang memerlukan petikan. Ketika aku mencoba bermain ā€œRomance Dā€™ amourā€ aku hanya bisa memainkannya sampai verse 1 dan 2. Ketika sudah tiba part 2, dan finalā€¦ aku mulai putus asa. Aku juga mencoba bermain ā€œMarch Militaireā€:, The tale of the bard, dan Canon in D, tetapiā€¦ aku mendapatkan nilai di bawah KKM karena aku tak bisa menguasainya dalam waktu seminggu. Aku mudah menyerah ketika tanganku sakit.

Seni rupa, paling merasuk ke dalam jiwa.

Tapi aku yakin, diriku benar-benar seniman (tapi bukan senang nipu teman). Ketika aku putuskan bahwa bermain gitar bukanlah bakatku, aku mencoba untuk berpindah ke seni lain yaitu seni rupa. Kali ini aku berpindah saat kelas dua belas. Tepat sekali, ketika seni rupa di kelas 12 lebih kepada menggambar isometrik yaitu 3-dimensi. Aku percaya diri karena di sini aku bisa melakukannya, bahkan aku mengajari ke teman-temanku.

Namun begitu aku harus menggambar bebas, seperti gambar orang, atau pemandangan, aku merasa malu karena gambarku lebih mirip gambar anak SMP atau bahkan SD. Aku kehilangan kesabaran ketika aku harus menorehkan garis itu dengan tegas, namun malah mencorengnya. Aku jadi tidak sabar ketika gambarku hanya berupa gambar-hapus-gambar-hapus-gambar-hapus dan akhirnya aku menggambar di atas kertas yang lecek, dan hasilnya sangat tidak memuaskan.

Sang penggambar film animasi

Akhirnya aku mencoba mencari objek lain yaitu Pokemon, salah satu objek yang aku suka dan mudah menggambarnya. Aku lebih percaya diri menggambar PIkacu, Oshawott, Larvitar, dan Charmander ketimbang aku harus menggambar orang hidup. Dan di sana aku membuat karya seni yaitu laci Pikachu dari kardus. Aku suka karyaku, bahkan mereka memajangnya di ruang belakang :D.

Bermusik dalam grup vokal

Pencarian diriku terhadap nilai seni aku tingkatkan hingga kuliah. Saat kuliah, aku menyanyi Bersama tim vocal grup jurusan, dan menempati suara Bass. Di sana aku lebih mencintai transisi suaraku yang sebenarnya tidak kuat lagi menggunakan suara tenor. Aku bernyanyi Bersama teman-teman, dan aku lebih menemukan diriku. Hobiku bernyanyi aku teruskan hingga 4 tahun bekerja. Aku masih mencintai menjadi anggota Paduan suara maupun vocal group, hingga aku terus dan menerus melakukannya.

Nyanyi solo: Titik mula pengenalan diri

Di suatu titik kehidupan aku bosan dengan hobby menyanyi dalam tim. Saat itu aku baru putus dengan pacar. Dan aku memutuskan untuk mencoba menyanyi solo di cafƩ. Aku ingin dikenal. Aku ingin diakui kalau suaraku bagus. Aku juga ingin mereka bertepuktangan setelah aku bernyanyi. Pokoknya aku ingin terkenal dan menjadi penyanyi solo yang baik.

Aku menjadi ketagihan setelah mendapatkan apresiasi dari si penyanyi. Aku jadi senang dan ingin terus bernyanyi. Aku meneruskan hobbyku itu dalam 2-3x pentas. Hingga aku bertanya kepada diri sendiri: untuk apa aku bernyanyi? Untuk sebuah pujian, atau untuk pengembangan diri?

Ke psikolog: agar tidak lari dari diri sendiri yang menghantui

Pikiranku semakin menjadi kalut, ketika aku sadari, bahwa menyanyi adalah pelarianku, agar aku tidak larut dalam kesedihan. Aku bernyanyi agar aku lupa bahwa aku sedan gada masalah. Aku bernyanyi agar aku bisa yakin bahwa diriku baik-baik saja, aku dihargai di luar, dan dihormati. Aku bernyanyi supaya aku tidak dianggap deep dark inside dan punya gangguan kejiwaan.

Dan kesadaranku mengarahkanku pada inisiatif kunjungan ke psikolog. Aku mengunjungi psikolog agar aku menjadi tahu, akar dari kesedihan dan permasalahan dalam diri. Aku jadi ingin lebih kenal pada diri sendiri dan tentunya lebih sayang pada diriku. Aku tidak ingin lari dari masalahku.

Setelah ke psikolog , aku menjadi suka menggambar, walaupun gambarku tetap jelek. Aku suka bernyanyi, walau aku tidak didengar di public, entah bernyanyi di kamar atau bernyanyi di motor. Aku jadi suka menulis puisi.

Seni, perwujudan ekspresi diri

Kusadari, bahwa aku menyelami dunia seni untuk mengekspresikan diri. Aku ingin mendalami seni, supaya aku lebih sayang pada diri dan mengetahui potensi apa yang tersembunyi. Aku menggambar untuk mengekspresikan perasaan dan suasana hati. Aku menulis untuk menyuarakan hati dan jiwa yang terdalam. Aku bernyanyi untuk melepaskan semua beban diri.

Karena aku berseni untuk menemukan diri ini.