Hidup Santai Walaupun Terbantai

Terbantai. Kata kuncinya kejam sekali untuk sebuah judul. Bukan, ini bukan cerita tentang penjagalan atau genre thriller. Ini hanyalah sebuah genre rom-com: Romusha – Comedy.

Kamu sering merasa hidup lagi susah-susahnya?

Kerjaan mulai banyak dan berat?

Kuliah mulai susah dan tuntutan akademik rewel?

Mungkin aku bisa memberimu tips cara hidup yang menyenangkan walau terkena stress dari berbagai sisi.

Identifikasi sumber stress

Setiap stress pasti beralasan: stress pekerjaan, stress pasangan, stress keluarga, ataupun stress karena kekurangan dana (ini masalah kita semua nggak sih?).

Karena setiap marah, sedih, dan coping mechanism lain seperti mengamuk atau menangis, adalah perwujudan dari stress.

Sudahkah kita mengetahui pasti apa yang bikin kita stress? Coba tuliskan semua rasa yang kamu terima di saat ini dan bagaimana dengan sumbernya, apakah dirimu mengetahui pasti?

Dampak negatif stress

Stress bersumber dari suatu masalah, dan menimbulkan masalah baru. Bisa perilaku hidup konsumtif alias boros yang memicu kekurangan dana. Bisa kesehatan yang terganggu seperti timbul demam, migrain, flu, maag, asma atau penyakit lainnya.

Bisa juga suatu hubungan yang malah menjadi renggang hanya karena kita melampiskan stress kita dengan cara yang salah. Ini akan merugikan kita dan orang-orang di sekitar kita.

Strategi mengatasi stress dengan santai

Aku tidak mengajarkan kamu untuk menjadi pemalas, apalagi menjadi seorang prokrastinator atau penunda-nunda. Karena itu hanya akan menimbulkan suatu masalah baru.

Dengan malas menghadapi tantangan kita dan kita menunda-nunda, kita malah mendapatkan pekerjaan yang lebih banyak dan berat. Di suatu titik, akhirnya stress kita memuncak dan berakibat fatal.

Ini adalah cara santai menghadapi tekanan yang membuat kita terbantai. Dengan demikian, kita akan bisa menjalani hidup yang tetap bahagia.

1. Komunikasikan diri kita yang sedang tertekan

Komunikasikan dengan orang-orang di sekitar kita. Yakinilah bahwa orang-orang tersebut mau support dan solider hanya mendengarkan kita. Pastikan kita tidak memendam rasa itu sendirian.

Tentu saja, orang yang pantas kita ceritakan adalah teman dekat atau sahabat, pasangan (jika ada), dan orangtua. Mereka yang peduli pasti mau mendengarkan, mau memahami, dan mendukung apa yang kita lakukan.

2. Cari support system di sekolah / kampus / tempat kerja.

Support system adalah pusat dukungan, yaitu orang-orang yang satu tujuan, saling mendukung, menyemangati dan penuh positivitas.

Mereka bisa jadi HR, bisa jadi atasan, bisa jadi teman kerja, bisa jadi teman departemen lain. Untuk mahasiswa, bisa jadi mereka teman SMA, teman sejurusan, teman beda fakultas, teman beda kampus, teman seorganisasi.

Support system ini berfungsi untuk menjaga semangat kita saat kita mulai putus asa dan mau menyerah untuk mencapai tujuan. Bedanya, mereka tak hanya memberikan kesrmpatan kita bercerita. Mereka memberi dukungan moral yang cukup, sehingga kita termotivasi untuk menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaan kita.

Ini juga bermanfaat untuk menjaga positivitas, sehingga kita tidak hanya mengeluh saat bekerja dan mengerjakan tugas.

3. Luangkan waktu untuk menekuni hobi

Pastikan kita memiliki alokasi waktu buat jalanin hobi kita. Dengan begitu, kita akan mencari cara agar kita bisa tetap waras di dunia yang kadang gila ini. Mengembangkan hobi bukan untuk cari eksistensi, validasi, maupun apresiasi. Pastikan hobi ditekuni sebagai sarana pemenuhan hasrat diri.

Hobi kita adalah suatu anugerah. Dengan memiliki hobi, hidup kita menjadi penuh warna. Dan kita akan lebih mencintai diri sepenuhnya.


Tekanan hidup memang keras, dan kita sering terbantai karenanya. Namun itu bukan berarti kita tidak bisa hidup santai.

Ambil waktu sejenak untuk ngobrol dengan orang-orang di hidup kita, mencari support system yang menjaga motivasi kita, dan menekuni hobi.

Karena bekerja adalah bagian dari hidup, dan hidup tidak melulu soal pekerjaan.

Hanya kita yang bisa menakar, memahami, dan mengerti esensi kehidupan ini. Maka jangan lupa untuk tetap sadar dan tetap menjiwai hidup ini dengan sepenuh hati.

Bicara dengan Leluasa, Legakan Belenggu di Dada

Aku punya seorang teman, mungkin lebih pantas disebut sahabat. Satu dekade ini kita bersama. Dia adalah orang pertama yang harus tahu setiap saat dalam hidupku: suka duka, untung malang. Dia mengetahui isi dari setiap hatiku. Kami terbiasa terbuka.

Suatu kesempatan, aku pernah mengalami musibah kehilangan uang. Lalu aku mendatanginya dan berkata.

“Pinjam dulu seratus”

Tentu tidak. Aku bercerita tentang bagaimana aku bisa kehilangan sejumlah uang, dan bagaimana aku menanggapinya. Kala itu aku sangat menghayati kesedihanku. Aku menangis tersedu-sedu. Aku terisak, dan dadaku sesak.

Setelah semuanya tenang, normal. Aku sendiri mendapatkan ketenangan untuk bisa bercerita secara detail, dan lebih menggunakan ingatan dan logikaku. Dia menyimak dengan seksama dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

Kami mencari solusi bersama, dan di akhir diskusi kami bisa saling menguatkan satu sama lain.

Pada lain kesempatan, giliran dia yang bercerita dan aku yang mendengarkan. Aku yang mendengarkan kadang ikut berempati.

Marahnya menjadi marahku.
Sedihnya menjadi sedihku.
Dan bahagianya menjadi bahagiaku.


Teman-teman sendiri pasti pernah memiliki teman, sahabat, pacar, anggota keluarga, atau siapapun yang biasa diajak cerita. Ketika kita bercerita kepada orang lain permasalahan hidup kita, kita sudah lebih tenang dibanding sebelum kita bercerita.

Karena tujuan dari kita bercerita adalah, ingin didengarkan.

Kita hanya butuh didengarkan, dipahami, dan dibuat lebih nyaman. Tiada kurang tiada lebih. Dengan kita berusaha untuk terbuka, bercerita, dan melepaskan segalanya, kita akan melegakan semua belenggu yang terpaku di dalam dada.

Kita hidup tidak sendirian, itulah sebabnya kita membutuhkan teman untuk bercerita.


Bagaimana dengan psikolog?

Hampir sama seperti teman kita bercerita, mereka juga mendengarkan, memahami, tanpa penghakiman. Bedanya, mereka terikat oleh hubungan professional. Mereka dibayar, teman kita tidak. Mereka hanya terbatas waktu, teman kita (mungkin) tidak.

Ada satu perbedaan yang mendasar ketika kita mengunjungi psikolog dan tidak. Ketika kita tidak mengunjungi psikolog dan hanya bercerita kepada teman, kita hanya melegakan belenggu di dalam dada. Hanya agar tidak terpikirkan. Tetapi ketika kita mendatangi psikolog, kita berharap bahwa mereka akan memberikan kita tunjangan kognitif, afeksi, dan psikomotorik dan landasan keilmuan yang kuat, sehingga kita akan lebih mendalami sisi psikis kita.

Mereka bisa menjadi coach atau mentor pribadi kita.

Lebih tenang setelah cerita kepada teman, lalu apa perlu pergi ke Psikolog?

Tergantung. Apakah kita masih bisa menghadapi situasi psikis, yang kadang berujung kepada efek psikosomatis dan psikologis kita? Apakah kita cenderung kuat menghadapinya sendiri?

Apabila tidak, mencari bantuan professional tentu lebih membantu kita. Dalam hal ini, ada tujuan yang ingin dicapai ketika kita mengunjungi psikolog. Tujuan itu biasanya lebih besar dan lebih mulia:

  • Ingin mengenali inner child dalam diri dan bagaimana cara mengelolanya
  • Ingin memaksimalkan semua potensi dalam diri
  • Ingin terbebas dari belenggu masa lalu dan berhenti mengutuki diri.

Kepada setiap insan, yang mungkin kelelahan. Dan masalah tidak berkesudahan, ingatlah ini:

“Ada seseorang di luar sana yang menantikan kepulangan kalian. Mereka merindukan kalian, mereka menyayangi kalian. Jagalah diri, seperti mereka sudah menjaga Anda
Sayangi diri, seperti mereka menyayangi Anda.

Begitu Anda ingat, orang tersebut siapa. Ceritakanlah kepada mereka. Menangislah, terbukalah, dan jujurlah.

Karena keindahan hidup telah mereka bawa dalam kepingan hati mereka.

Bisa jadi, Ibu teman-teman sudah menantikan kabar dan siap mendengar kalian bercerita.
Bisa jadi, ada sahabat kalian yang menunggu kabar kalian untuk bercerita.
Bisa jadi, ada seorang khusus yang menanti-nanti kalian, menunggu kabar kalian untuk selalu terbuka dan cerita.

Maka jangan takut untuk bercerita,
Jangan takut lepaskan belenggu dalam dada.

Pentingnya Memahami Emosi Kita

Untuk bisa mengerti pentingnya memahami emosi kita, mari kita simak cerita berikut. Ada seorang anak bernama Kenny. Dia sangat lapar. Dia ingin makan. Ia ingin sekali makan nasi dan ayam goreng. Ia meminta orangtuanya untuk memberinya makan. Ia ingin supaya mendapatkan nutrisi dari makanan.

Ia terus dan terus meminta, tetapi orangtuanya belum menyediakan makanan. Ia terus dan meminta lagi, tetapi orangtuanya masih saja mengabaikannya.

Ia pun kelaparan, dan perutnya keroncongan. Ia segera meminta makanan.
Namun belum diberinya makan juga.

Ia jatuh sakit, dan meminta agar diberi makanan. Namun orangtuanya masih belum memberikan makanan.

Lama-lama dia sakit, dan akhirnya mati…


Tentu saja ini bukan cerita nyata. Karena mana ada orangtua yang tega membunuh anaknya sendiri dengan tidak memberinya makan, tanpa mengajarkannya untuk mencari uang. Dan anak seperti Kenny yang belum punya inisiatif seperti itu, biasanya mereka yang belum mengerti cara mendapatkan uang dari bekerja. Dan mereka hanya meminta-minta.

Cerita ini tak akan pernah terbit dimanapun.

Namun, cobalah mengganti peranan tersebut:

Kenny, adalah inner child kita.
Lapar, adalah emosi kita.
Orangtua, adalah kesadaran dan diri terbesar kita.
Sakit, adalah keadaan mental diri kita yang terganggu.
Mati, adalah kondisi kritis mental kita yang sudah terlambat untuk ditolong.

Mungkin, jika peranannya diganti, mari bertanya pertanyaan yang sama: mana ada diri yang tega membunuh emosinya sendiri dengan tidak memberinya pengakuan diri, tanpa memahaminya dengan kesadaran.

Mungkin diri itu adalah aku, kamu, atau bahkan kita semua.
Mungkin saat itu kita tidak menyadarinya.

Dari satu luka, tumbuh menjadi suatu bencana.

Mengapa kita harus mengenali emosi, dan bagaimana caranya?

Emosi manusia sangatlah beragam. Ada senang, sedih, marah , takut, kaget, jijik. Manusia yang tidak terbiasa memahami emosi, akan cenderung mati rasa, dan akan timbul gangguan kejiwaan lain, seperti sosiopati atau psikopati. Itulah sebabnya para orangtua di dunia ini punya kewajiban mengajarkan cara memvalidasi emosi kepada masing-masing anak.

Biasanya mereka mengenalkan emosi kepada anak dengan cara memberinya suatu tayangan, mengajarkannya melalui raut wajah, dan selalu mendorongnya untuk jujur dengan apa yang dirasa.

Setiap orangtua sebaiknya memvalidasi emosi anak-anaknya. Dengan demikian, anak akan lebih terbuka terhadap diri sendiri dan lebih bijak dalam mengelola emosi.

Tanpa emosi, hidup seseorang akan berbahaya

Bayangkan, ketika kita tidak bisa merasakan sedih sama sekali. Maka kita juga tidak bisa merasakan senang, takut, jijik, ataupun rasa-rasa lainnya. Ketika ini dibiarkan, seseorang akan cenderung menyakiti dirinya, bahkan membawanya ke keadaan bahaya.

Ini bisa membahayakan hidup diri sendiri maupun orang lain. Apabila kita tidak bisa berempati kepada diri kita, bagaimana kita mampu berempati kepada orang lain?


Emosi manusia sangat kompleks. Tanpa suatu penerimaan diri lewat self-discovery, kita akan mengutuk semua emosi negatif dan membenci diri. Jika kita bisa menerima diri, kita akan lebih terbuka dengan setiap emosi. Dengan demikian, kita akan lebih jujur kepada diri sendiri, bisa memvalidasi emosi, dan mampu mengelola emosi.

Menyelami Masa Lalu

Aku berjalan menemui suatu tempat yang indah, nyaman, tenang, dan juga menyenangkan. Aku melihat ada suatu hutan yang rindang dan terdapat air terjun, pohon berbuah, dan bunga-bunga bermekaran. Rasanya sepert hidup masa lalu yang menyenangkan. Tanpa gawai, tanpa teknologi, dan tanpa ekspektasi orang lain.

Aku berjalan dan menemukan ada sebuah istana megah. Begitu masuk, aku melihat ada banyak mainan di sana. Terutama banyak boneka. Ada boneka jerapah, kudanil, bebek, dan kodok. Bahkan ada banyak karakter kartun di sana. Betapa lucunya mereka semua, hingga aku mendatangi dan memeluk boneka tersebut. Apalagi ada boneka anjing besar yang bulunya lembut dan lucu.

Ketika ada suatu ranjang putih yang empuk, aku putuskan untuk tidur di atasnya. Aku tertidur sangat pulas, hingga aku terbangun dengan perut yang sangat lapar. Aku mengunjungi meja makan istana itu, dan aku melihat ada banyak makanan di sana. Ada masakan berbasis daging sapi dan ayam, goreng dan bakar. Ada zuppa soup, spaghetti, kentang goreng, dan salad buah. Ada banyak minuman. Aku memakannya satu persatu, dan aku bisa merasakan renyahnya tepung, gurihnya bumbu ke dalam lidahku.

Musik yang kudengarkan dalam ruangan ini lembut, mengalun, dan tenang. Kurasakan musik yang merasuk ke dalam jiwaku. Telingaku serasa dimanjakan, dan aku merasa puas dan cukup.


Betapa indahnya imajinasi ini. Sampai aku menyadari sesuatu bahwa ini bukanlah realita yang selama ini kuhadapi. Ini adalah gambaran ideal mengenai definisi kenikmatan dunia.

Pada saat itu, aku merasakan banyak rangsangan sensorik yang menyenangkan:

  • Rabaan, aku dapat merasakan empuknya bantal dan boneka yang membawaku kepada kenikmatan tidur.
  • Rasa, aku dapat merasakan kecapan bumbu-bumbu, tekstur daging, dan berbagai macam rasa yang memanjakan lidahku.
  • Penglihatan, aku melihat air jernih mengalir, hijaunya hutan, dan keindahan hamparan bunga.
  • Pendengaran, aku mendengar musik klasik diputar.
  • Penciuman, aku mencium aroma sedapnya masakan, aroma wangi bunga-bunga, serta udara segar yang bebas bau.

Hal ini juga berlaku dalam pengalaman masa kecil yang pernah kualami. Mendapatkan kado boneka sebagai hadiah ulang tahun, makan di restoran Jepang yang enak, mendengarkan musik klasik untuk menghantarku tidur, mencium aroma wangi lantai yang baru dipel Ibu.

Betapa indahnya masa-masa itu. Rasanya, ingin kuputar kembali waktu. Aku seperti hidup kembali.

Jadi, apakah masa lalu penting untuk dikenang?
Bagaimana jika dibalik, kelima panca indera tersebut menerima rangsangan negatif, dan yang ada hanyalah trauma?

Masihkah kita sanggup mengingat masa lalu tersebut?

Pentingnya Memahami Kenangan dan Pengalaman Masa Lalu

Setiap dari kita lahir, tumbuh besar, dan mendewasa dengan cara dan latar belakang yang berbeda. Dengan asal keluarga dan daerah yang berbeda, pasti kita semua punya pengalaman yang berbeda, terkait masa lalu kita.

Tanpa adanya masa lalu, tidak akan ada masa kini dan masa depan. Namun demikian, masa lalu bukanlah segalanya untuk menentukan hidup kita.

Bukan berarti ketika kita menderita kemalangan atau musibah di masa lalu, masa depan kita akan ikut hancur.

Apakah mengenang masa lalu itu penting?

Filosofi ini mirip seperti teman-teman yang hendak mengemudi kendaraan bermotor (motor atau mobil). Ketika kita mau berbelok, atau mendahului, tentu kita akan melihat kaca spion terlebih dahulu, baru menentukan apakah akan berbelok sekarang atau mendahului sekarang, atau nanti saja.

Ketika kita melihat spion dan menemukan manfaat darinya, bukan berarti kita harus melihat spion terus, kan?

Masa lalu itu sangat diperlukan. Terutama ketika kita akan menggali akar trauma / primal wound. Akar trauma ditemukan dari kumpulan masa lalu. Yang kadang menyakitkan kendati indah untuk dikenang.

Aku ambil contoh, pengalamanku hilang di mall. Cerita bermula ketika aku masih usia pra-TK. Saat itu aku ikut berbelanja dengan ibuku di Matahari. Aku sangat suka menyelinap di balik manekin-manekin yang menampilkan baju promosi atau display. Ketika aku terlalu lama bersembunyi di manekin, aku kehilangan jejak orangtuaku, dan akhirnya aku terpisah jauh dari mereka.

Aku mencoba mencari mereka dan tidak menemukan. Akhirnya aku menangis, hingga pihak swalayan mendatangiku dan berkata, “Mama kamu namanya siapa?”

Dengan polosnya, aku menjawab, “Aku gak punya Mama!”

Lalu petugas swalayan itu bertanya padaku, “Datang ke sini tadi sama siapa nak?”

Aku menjawab, “Sama Ayah dan Ibu…”

Mungkin petugas swalayan tadi setengah kesal, kendati petugas memanggil nama orangtuaku di pusat informasi, dan berharap mereka akan segera menjemputku.

Dan aku diketemukan oleh orangtuaku. Kami berpelukan dan aku makan siang chineese food di mall itu.


Apakah pengalaman itu penting? Ya sangat penting. Karena di sini kita belajar bahwa kemampuan komunikasi harus ditanamkan sejak kecil. Karena saat kecil kemampuan emosional dan problem solving ku sangat rendah, aku cenderung menangis sampai ada orang yang datang menghampiriku.

Apakah pengalaman ini menyakitkan? Tentu saja, pengalaman ini membuat aku terkadang takut untuk ditinggal dan dibiarkan sendiri.

Apakah pengalaman ini menyenangkan? Saat bagian aku sudah bertemu orangtuaku dan kita makan bersama, tentu saja menyenangkan.

Mengenali Kenangan Emosional

Masa-masa paling berkesan adalah masa kanak-kanak. Di masa inilah emosi-emosi dasarku terbentuk. Aku jadi bisa merasakan sesuatu karena aku sudah melewati masa ini.

Namun, masa inilah yang membentuk rasa takut, amarah, dan kesedihanku. Aku mulai sadar, bahwa hal-hal aneh yang sulit dijelaskan di masa kini berasal dari masa lalu. Seperti aku takut ada orang yang meninggalkanku, dan takut akan ada orang yang membentak atau memukulku.

Menyelami masa lalu, berarti menyelami segala bentuk emosi, baik itu negatif atau positif.

Emosi yang ada ini, memberikanku suatu dorongan untuk lebih mengenali diri dan melakukan self-discovery.

Menciptakan Ruang untuk Refleksi

Saat aku merasakan sesuatu, setelah mengumpulkan puing-puing masa lalu, biasanya aku menuliskannya di lembar refleksiku.

Selain bertindak sebagai pelacak perasaan, refleksi juga semakin mendekatkanku kepada penemuan diri yang utuh. Mereka adalah petunjuk dari fragmen-fragmen masa lalu yang mudah terlupakan.

Penggunaan Terapi untuk Mengatasi Trauma dan Luka

Setelah aku putuskan diriku untuk pergi ke psikolog, aku menemukan lebih jelas gambaran diriku lewat terapi. Dan inilah salah satu keunggulan yang tidak bisa didapatkan dengan cerita kepada teman.

Cerita hanya menenangkan pikiran yang berkecamuk, sementara konseling bisa menghantarkan kita kepada penyembuhan batin.

Selama terapi, aku tidak hanya melihat alam bawah sadarku secara nyata. Tetapi aku juga mendengarkan mereka berteriak, menjerit, bahkan menangis. Aku bisa lebih berempati dan menyadari diri mereka.

Menggunakan Pengalaman Lalu untuk Pertumbuhan Pribadi

Masa lalu belum tentu mencerminkan masa depan. Tetapi dari masa lalu, kita bisa belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Masa lalu yang indah, adalah motivasi diri untuk selalu mengusahakan keindahan di setiap masa: masa kini dan masa depan. Sesulit apapun masalah yang dihadapi, sesuram apapun dunia yang ditinggali, jangan lupa untuk bahagia dan tersenyum.

Ketika kita belajar dari masa lalu, sebenarnya kita sudah satu langkah lebih maju dalam mengenali diri sendiri. Di situlah self-development dan self-discovery berproses.

Masa lalu adalah harta berharga kita, yang memiliki ingatan dan kesadaran yang utuh. Di sana tidak hanya terdapat pelajaran, namun juga misteri hidup. Mulai dari akar luka sampai inner child, semua hal bisa dijelaskan dengan mengulik masa lalu.

Mungkin, masa-masa itu sulit untuk dikenang, apalagi peristiwa buruk. Tetapi, kehadiran para Psikolog Klinis adalah untuk menenangkan diri kita, ketika reaksi-reaksi tidak nyaman mulai muncul.

Mungkin kita akan menangis keras, atau badan kita bergetar dahsyat. Namun itulah cara kita bisa keluar dari belenggu yang selama ini kita tanggung.

Untuk hidup, berarti untuk merasakan.
Karena rasa, adalah anugerah.
Di setiap masa, pasti ada rasa.
Rasa itulah yang membuat kita hidup setiap harinya.

Sudah merasakan apa kamu hari ini?


#30DWCJilid44 #Day7

Membangun Hubungan yang Baik dengan Psikolog

Jangan takut dengan psikolog, itu pesanku. Mereka hanya manusia, seperti kita. Memang awalnya aku mengira mereka adalah manusia dengan otak superkomputer yang bisa menyelami dalamnya hati dan pikiran manusia. 

Jangan takut mereka akan menghakimi dan menyudutkan. Karena mereka punya kode etik untuk bekerja. 

Jangan takut mereka akan membocorkan semua yang kamu ceritakan. Meskipun mereka punya akun sosial media, mereka akan berbagi konsensus denganmu setiap akan membuat story tentangmu.

Tentu saja, kamu boleh untuk tidak secepat itu mempercayai psikolog sampai kamu mengunjunginya. Maka berikut aku akan berbagi tips bagaimana agar tidak takut dan berhubungan erat dengannya.

Menghubungi lebih dahulu di WhatsApp

Sebelum konseling, kita bisa mengawali mengobrol dahulu dengan Psikolog di WhatsApp. Hal ini dimaksudkan agar kamu tidak canggung saat menceritakan dirimu. Ngobrol ini bisa dengan perkenalan: domisili, asal, background pendidikan, dan minat, atau hobby.

Ceritakanlah garis besar masalahmu di Word File

Takut energi habis saat akan bercerita panjang lebar soal diri sendiri?

Ceritakanlah dirimu dan masalahmu dengan menguraikannya pada selembar kertas. Kamu bisa menulis bebas tanpa format dan tanpa hambatan. Anggap kamu menulis untuk diri sendiri.

Tanyakanlah pada Psikolog apakah dia berkenan untuk dikirimi file tersebut sebelum kita konseling? Bila tidak, cobalah untuk menyerahkannya di hari H konseling.

Cobalah untuk ngobrol lepas pra dan pasca konseling

Ini dimaksudkan agar hubungan kalian tidak sebatas hubungan profesional yang kaku. Siapa tahu kalian bisa dekat untuk diskusi atau melakukan hal yang besar.

Sebenarnya hal ini juga agar kalian tidak kaku dan mulai terbuka satu sama lain. Terutama saat menceritakan hal-hal sensitif. Cobalah menanyakan keluarga, biasanya orang-orang menyukainya. Atau makanan enak. Atau bisa jadi tempat baru untuk dikunjungi.


Kembali lagi kita harus ingat bahwa mereka juga manusia. Mereka bukan malaikat penjaga gerbang surga maupun seorang hakim (karena gelar mereka bukan SH atau MH). Merekalah manusia yang siap membantu kita keluar dari permasalahan.

Dengan demikian, kita akan lebih terbuka dengannya dan self-discovery kita akan lebih bermakna.

#30DWCJilid44 #Day6

Alasanku Mengunjungi Psikolog

[trigger warning] Aku terbaring di antara bantal guling yang tak beraturan, setelah beberapa jam yang lalu emosiku meledak-ledak.
Aku menangis, mengerang, dan meraung dalam benda empuk tersebut. Penuh tekanan dan derita atas beberapa bulan berpura-pura ini, mentalku akhirnya hancur juga.
“Apakah aku membutuhkan Psikolog?” Pikirku melayang dalam angan yang tak berkesudahan.

Keesokan harinya aku kembali merasakan dunia yang indah, cerah, matahari bersinar, udara segar. Pokoknya segala kiamat dunia telah musnah dan kini lahirlah langit baru dan bumi baru. Harapan baru. Semangat baru. Seakan semalam tak terjadi apa-apa.

Aku kembali melanjutkan hari-hariku. Bekerja seperti biasa. Bermain seperti biasa.

Suatu ketika di suatu siang, entah mengapa aku seperti tersambar petir. Ada orang yang mengusikku dengan mengingatkanku pada luka lama:

Kenangan mantan.
Kemarahan orang lain.
Omongan orang yang menyiksa batin.

Hingga akhirnya air mataku terburai.

Air mataku habis sejadi-jadinya. Aku hancur sejadi-jadinya. Aku kembali jatuh mental.

Di suatu malam yang dingin, aku kembali mengenang hal-hal yang menyakitkan itu. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku tidak tahan dan memutuskan untuk mengambil bak berisi air.

Aku memasukkan kepalaku sedalam mungkin hingga aku tak merasakan nafas yang erat dan cukup pusing. Sampai akhirnya aku mengeluarkannya.

Aku tidak tega.

Frustrasi. Aku mengeluarkan kepalan tinjuku dan kukeluarkan ke tembok ini.

Aku putus asa.
Dan aku berada di ambang kesadaranku.

Satu tahun berlalu dan aku hidup normal. Cukup normal sampai aku merasakan tekanan kerja. Dan aku kembali menangis sendirian di kantor, seorang diri.

And the cycle repeats on and on

Mungkin itulah penggalan kisah dari satu rentetan kisah yang panjang. Mungkin itulah fragmen dari bagaimana dunia ini bekerja.

Dan mungkin itulah cerita kelam yang menghiasi hiruk pikuk dunia dan kesibukan orang dewasa ini.

Tapi, siklus ini tak boleh dibiarkan berulang.

Pertanyaan nya :
Mau sampai kapan?
Mau berapa orang lagi ku korbankan?
Mau sesering apa ku menutupi diri sendiri dan terus main kucing kucingan dengan perasaan?

Semua pertanyaan ini aku jawab dengan mengunjungi psikolog.


Tiga pilar inti alasan ke Psikolog

Ketika aku ditanya oleh psikolog apa tujuanmu datang ke sini, aku menjawab dengan sederhana:

  1. Ingin lebih kenal dengan diri sendiri
  2. Mau memaksimalkan potensi diri
  3. Ingin hidup di tengah tengah masyarakat dengan batasan yang sehat

Adapun alasan implisit dariku adalah : aku ingin keluar dari rantai trauma yang tak pernah berakhir ini. Kuingin bebas sebebasnya dari belenggu masa lalu, dan aku ingin melesat jauh dengan kemampuan yang ada.

Tidak takut ke psikolog

Banyak temanku yang kuliah jurusan psikologi. Mereka mendorongku untuk pergi ke psikolog dan konseling. Aku pun tidak dicap gila atau kurang waras. Selain itu mereka malah memberiku semangat dan motivasi agar aku pulih kembali.

Tidak takut kemahalan

Ada harga ada rupa. Aku rasa, kunjungan ke Psikolog ini tak menjadi hambatanku untuk menabung dan financial freedom. Aku tetap bisa menabung yang banyak di bulan-bulan berikutnya. Aku masih bisa sukses dengan cara apapun selain bergantung pada gaji.


Semua ceklis sudah dilakukan. Dukungan keluarga dan teman ada. Uangnya juga sudah ada. Alasannya juga sudah kuat. Saatnya aku berangkat.

Semua ini demi masa depan yang aku impikan. Inilah hari-hari indah yang akan kuceritakan pada lembar-lembar berikutnya.

Akan kubuktikan kepada dunia, bahwa kunjungan ke Psikolog ini penuh manfaat dan dampak baik. Sehingga aku tak akan pernah menyesal.

#30DWCJilid44 #Day5

Awal mula cerita self-discovery

Bu Admila membuka percakapan hari ini. Di ruangan 3 x 3 meter inilah aku berdialog denan nya menuju self-discovery.

Tatapan beliau hangat, ramah. Hal ini membuatku bisa lebih terbuka dan lebih santai dalam mengungkapkan rasa dan isi hati.

Kami berangkat dari issue yang pertama yaitu ingin bunuh diri. Rasa dan pemikiran ingin bunuh diri ini sudah keluar sejak lama. Triggernya semakin erat di tanah Rantau, terutama saat di Batam.

Setelah itu, mata saya terisak ketika kita berdialog tentang hubungan asmara. Pada hubungan terakhir di mana saya putus kontak dengan pasangan, di sini air mata saya mulai bercucuran.

Suatu hal yang menjadi alasan mengapa saya datang ke Psikolog adalah, menghindari air mata ini menetes di waktu yang tidak diharapkan. Dan agar tetap professional dalam bekerja. 

Cerita berlanjut dengan kumpulan kekhawatiran menatap masa depan. Mengingat banyak inner child dan trauma yang belum tuntas, maka di sini tujuan saya semakin erat mengunjungi psikolog: untuk mengenal diri sendiri, memaksimalkan potensi diri, dan membangun batasan sosial yang sehat dengan lingkungan.²

Bersama Psikolog, menuju Self- Discovery

Awalnya, saya mengunjungi psikolog agar saya tidak takut kesepian dan tenggelam dalam kesendirian, sehingga saya ingin bunuh diri.

Namun, keinginan tersebut sempat maju-mundur. Saya bertanya kepada teman saya, apa alasan orang-orang tidaj mengunjungi psikolog padahal mereka tahu, mereka tidak baik baik saja. 

Jawabannya sederhana: tujuan. Mereka yang tidak pergi ke psikolog tidak punya tujuan sama sekali terkait kunjungan ke psikolog.

Lain cerita dengan saya, saya memiliki tujuan yang jelas sejak awal. Karena sudah mantap dengan tiga poin ini, saya akan membayar berapapun untuk kunjungan ke psikolog ini. 

Tidak murah

Menghabiskan 500.000- 1500.000 per pertemuan tentu tidak murah. Pasalnya biaya psikolog ini adalah biaya Klinik, karena bu Mila sendiri berpraktik di srbuah klinik swasta 8di Yogyakarta. 

Tetapi ada fasilitas yang didapatkan dari kunjungan ini. Yaitu tempat konseling yang empuk , bersih, dan nyaman. Ada AC dan ruang tunggunya juga.

Selain itu, saya mendapatkan PR mingguan yaitu refleksi harian dan tugas. Lebih dari itu semua, saya memvisualisasikan dan membuat wayang untuk memperkenalkan sub-kepribadian saya.

Apa itu sub-kepribadian, tentu saja kita akan bahas kemudian.

Menghadirkan persona unik selama self-discovery

Dalam upaya self-discovery, ada beberapa persona yang menonjol atau dominan. Persona ini adalah sub-kepribadian yang memberi suatu watak/ karakter dari timbulnya suatu response.

Kepribadian manusia itu kompleks. Kita tidak bisa mengatakan manusia  baik atau jahat hanya dari 1 karakter saja. Manusia dikatakan manusia karena dia hadir ke dunia.

Saya sendiri memiliki persona “yang disukai orang lain” dan “yang tidak disukai”. Inilah yang membuat saya semakin unik dan mencintai kehidupan.


Awalnya self-discovery terasa membingungkan, hingga di suatu titik kehidupan saya menyadari bahwa saya bisa menjadi seperti ini karena ada kepribadian yang mau saya lindungi. Yang selama ini terluka, tertinggal, dan terabaikan.

Dialah elemen kompleks yang ada di setiap saya terluka. Dialah variabel independen yang mempengaruhi keputusan hidup saya.

Dia: nama dari trauma yang timbul atas generasi sebelumnya.

Dia akan kuperkenalkan di bagian berikutnya.

Bersambung…

#30DWC #Day3

Era digital dan tantangan self-discovery

Sebut saja Albert, seorang pekerja kantoran penuh waktu (08.00-17.00). Selepas jam kerja normal, alih-alih pulang ke rumah dan melanjutkan pekerjaan, dia lebih suka bekerja di kantor hingga jam 20.00 atau 21.00. Sesampainya di rumah, dia tidak langsung tidur melainkan menghabiskan waktu di depan gawai digital : telepon pintar. Setelah menghabiskan waktu sekitar dua jam, dia baru beristirahat.

Keesokan paginya, Albert kembali memeriksa telepon genggam setelah selesai beribadah pagi. Ia membuka Instagram hingga pukul tujuh, dan kemudian mandi serta sarapan. Ia kembali masuk ke kantor dan bekerja mulai pukul 8.00. Siang hari saat makan, dia memeriksa gawainya dan menonton YouTube. Selesai makan siang, dia melanjutkan pekerjaannya hingga pukul 21.00

Dan siklus tersebut berulang : harian, bulanan, tahunan, bertahun-tahun. Hingga kini dia memiliki dua anak.


Cerita tentang Albert mungkin saja tidak terjadi di dunia fiksi, karena artikel ini adalah artikel non-fiksi. Jangan-jangan, kita semua pernah atau sedang menjadi Albert?

Karena itulah, mari mengenal suatu istilah:

Kebiasaan Digital

Pernahkah kita mengatur diri, kapan kita melihat ponsel untuk membuka Instagram, X, E-mail, YouTube, TikTok, dan aplikasi lainnya?

Tak usah berbicara “produktivitas”, pernahkah kita (iya kita, maksud saya kamu dan aku) mengatur kapan harus membuka aplikasi tersebut, dan kapan harus menutupnya?

Dalam konteks Albert, ia tidak mengatur kebiasaan digital dirinya, sehingga sosial media-lah yang mengatur hidupnya.

Keberadaan aplikasi browser, media sosial, e-mail, dan fasilitas streaming video memang memudahkan kita untuk mengakses informasi. Namun …

… bukan berarti karena mudah, kita harus mengakses aplikasi tersebut setiap saat.

“Bisa”, atau “mudah”, bukan berarti harus. Oleh karenanya kita perlu mengatur kebiasaan digital, agar kita tidak…

Kehilangan koneksi diri

Albert sudah menjadi contoh bahwa ia telah kehilangan koneksi dengan dirinya sendiri. Bayangkan, kita semua pernah punya mimpi untuk melakukan sesuatu: ambil kursus, kuliah lanjut, memancing di suatu tempat, berkeliling, mencoba makanan baru, dan mengunjungi saudara. Tetapi itu semua tidak pernah terwujud? Atau jarang sekali terwujud?

Pernahkah kita memikirkan hidup kita, masa depan kita, diri kita saat ini, masa depan orang yang kita cintai, perasaan mereka setiap hari, dan hal-hal penting lainnya?

Teman-teman, itulah koneksi diri.
Setiap orang termasuk kamu dan aku yang membaca tulisan ini, punya hubungan dengan diri sendiri. Apakah hubungan kita sudah baik dengan diri sendiri?

Sudahkah kita self-reward atas semua pencapaian?
Ataukah, sudahkah kita berempati terhadap kesalahan yang dilakukan agar berhenti mengutuki diri?
Dan sudahkah kita kenal diri sendiri sepenuhnya?

Self-discovery dalam era digital

Kita tidak bisa membendung pertumbuhan teknologi yang begitu cepat.
Pun begitu, kita juga tidak bisa melupakan tugas utama kita yaitu untuk mengenal dan menemukan diri.

Dua tajuk sebelumnya masih berhubungan. Kita bisa simpulkan dengan kalimat pendek berikut:

Mengatur kebiasaan digital dengan baik, akan membuat kita lebih mengenali diri.

Jika Albert bisa membatasi dirinya mengakses media sosial, mungkin Albert bisa mencoba restoran baru di kotanya. Ataupun dia juga bisa memancing ikan di suatu perairan tawar. Dan dia juga bisa mengasah skill baru yaitu pertamanan dan perkebunan.

Hidup Albert akan lebih bermakna, dan Albert akan menemukan dirinya yang utuh.

Bagaimana caranya membatasi diri dalam mengakses media sosial?
Tentu saja dengan membuat batasan spesifik, berapa jam atau jam berapa media sosial dapat diakses?

Misal, saya hanya bisa mengakses YouTube pada hari Minggu, jam 12.00-14.00. Selain itu, Instagram, setiap hari pada pukul 17.00-18.00. Kita bisa berkomitmen pada diri sendiri, dan membuat sanksi apabila kita melanggar.

Ada lagi cara yang lebih menyenangkan, yaitu menggunakan aplikasi bantuan di IOS maupun Google Play. Saya sendiri menggunakan Stay Focused karena mudah digunakan dan fiturnya lengkap.

Selain membatasi akses dengan media sosial, penting adanya untuk memaksimalkan fungsi media sosial. Misalkan: membangun personal branding yang baik agar akun kita menjadi berbobot. Atau membagikan kabar sukacita entah itu kabar gembira ataupun artikel positif.

Apabila kita hendak mengkonsumsi konten, coba pikirkan kembali apakah konten tersebut pantas untuk dikonsumsi secara sering. Apakah akan lebih banyak manfaat atau mudharatnya?

Terus konsisten dalam melakukan posting maupun mengkonsumsi konten yang berfaedah, akan meningkatkan kualitas diri kita. Saat itulah terjadi self-discovery yang bermakna.

Manfaat self-discovery di era digital.

Kita hidup di era digital, dan akan terus hidup hingga akhir hayat kita.
Apabila kita tidak mampu hidup memaksimalkan sarana daring seperti media sosial, kita akan terus dimanfaatkan oleh sarana tersebut. Maka izinkan saya memberi pepatah:

Aturlah media sosial, sebelum mereka mengatur hidupmu.

Cobalah untuk berkaca dari peristiwa Albert. Maukah kita menjadi Albert? Yang hidupnya mulai dikendalikan media sosial? Ataukah kita bisa merubah kebiasaan digital dan mulai membentuk hidup kita.

Dengan menemukan diri (self-discovery) di era digital, kita jadi mudah menggunakan sumber daya yang ada, dalam memaksimalkan potensi diri. Dengan demikian, kita akan terintegrasi dengan perkembangan zaman sehingga kita bisa mengalami pertumbuhan diri.

Kotak Suci Peralatan Kami Dicuri

Satu jam berlalu sejak kami mencari kotak suci berisi peralatan kami. Perkakas itu tentu tidak mungkin menghilangkan dirinya sendiri, apalagi dicuri.

Satu jam berlalu sejak kami mencari kotak suci berisi peralatan kami. Perkakas itu tentu tidak mungkin menghilangkan dirinya sendiri, apalagi dicuri.

Pertanyaannya: siapa yang menggunakan tapi tidak mengembalikan?
Apakah ada yang mengambil kotak suci itu tanpa izin?

Kami mencari peralatan. Atas ke bawah. Di atas tangki, di bawah tangki, di sela-sela alat utama. Di sudut-sudut pillar kayu, di manapun yang mungkin. Kami sudah gunakan senter dan mencari di tempat-tempat gelap.

Nihil. Tiada hasil.
Peralatan kami dinyatakan hilang.

Bagaimana caranya kami bisa kehilangannya?
Barang itu ada 3 jam lalu sebelum kami mencari-cari. Masalahnya, setelah digunakan, peralatan tersebut ditaruh begitu saja tanpa diamankan dengan baik.

Terakhir, benda itu kami taruh di atas platform kayu tempat kegiatan perbaikan dilakukan. Hanya ditaruh begitu saja.

Semua orang pergi sejak kegiatan perbaikan itu dilakukan. Dan kami melupakannya.

Di saat kami membutuhkannya,
Dia menghilang (bukan avatar)

Kami saling menyalahkan, saling menuduh. Karena benda itu tidak kehilangan dirinya sendiri. Kami putus asa dan tidak tahu harus mencari lagi di mana.

Sampai di suatu titik, peralatan kami tidak sengaja diketemukan di bawah loker . Di mana selama ini orang tidak pernah menyembunyikan barang di sana. Kami bahkan tidak tahu kata-kata apa yang bisa menjelaskan: disimpan, disembunyikan, diselamatkan, atau dihilangkan?

Yang jelas, terima kasih Tuhan, peralatan kami diketemukan.

Mengapa peralatan ditemukan di bawah loker?

Hal paling logis adalah, barang tersebut diletakkan di koridor akses lalu lalang. Yang mana itu akan mengganggu orang yang lewat.

Peralatan tersebut harus diamankan. Namun pertanyaannya, mengapa di bawah loker?

Karena di atas meja, siapa saja bisa memindahkan atau menggunakannya. Dan di atas mejalah, benda kecil bisa dipindahkan oleh orang dengan mudah.

Siapa yang menyembunyikan dan apa motifnya, saya belum tahu dan tidak ada yang memberi kesaksian.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Di saat teman-teman makan siang, ada seseorang yang menggeser peralatan tersebut. Dan saat ada tamu pabrik yang berkeliling, tidak ada yang menyadari benda kecil tersebut sudah dipindah.

Baru saat sore hari, kunci pas tersebut dicari dan ditemukan setelah satu jam pencarian.

Pelajaran berharga

Sekali lagi, komunikasi adalah kunci dari setiap hubungan. Termasuk di hubungan kerja.

Apabila personnel yang “menyelamatkan” kunci tadi memberitahu ke teman atau rekan kerja, maka tidak ada pencarian satu jam yang sia-sia.

Namun, tidak ada yang sia-sia.
Kami yakin dan percaya, hal tadi bisa menjadi pengingat kami agar tidak menyia-nyiakan dan lebih menghargai barang.

Di ambang keputusasaan (despair)

Cerita ini bermula tiga bulan lalu. Saat itu aku “ditekan” oleh management untuk naik kapasitas, di sinilah aku mulai berada di ambang keputusasaan.

[Warning: TRIGGER CONTENT.] Pada ambang keputusasaan, di sinilah aku bercerita di detik-detik terakhir hidupku. Sebelum kukatakan: selamat tinggal dunia.



Inikah akhir dari paragraf?
Jika ya maka terima kasih atas waktu dan kesempatan Anda yang sia-sia. Terima kasih sudah mau membaca.


Tentu saja tidak bung!
Aku masih hidup dengan semangat yang baru, tanpa adanya keputusasaan. Aku hanya butuh istirahat sesaat untuk menyadari bahwa aku telah berusaha keras. Buktinya aku masih standby dan masih bertahan di sini.

Cerita ini bermula tiga bulan lalu, di saat aku sedang mendapatkan tekanan management. Saat aku “memegang” tugas dan tanggung jawab untuk naik kapasitas 6 batch per hari, di sinilah aku mulai berada di ambang keputusasaan.

Aku sempat berpikir, apa aku mati saja?
Rupanya tidak begitu caranya,
aku masih bisa hidup dan bergerak. Aku harus berjuang, aku harus menyelesaikan tugas ini sampai akhir.

Tidak tahu, akhir apa yang menantiku: apakah neraka panjang yang tak berkesudahan atau akhir yang bahagia. Yang jelas, aku harus berjuang hingga akhir.

Berjuang, bergulat, guling-gulingan, berperang, sampai aku mendapatkan hasilnya.

Kenaikan kapasitas: 6 batch diawali dari permintaan pasar, dan tugas dari manajemen. Kita harus bisa memenuhi kapasitas pasar. Kita masih harus berjuang untuk menurunkan biaya produksi sekaligus meningkatkan produktivitas dari pabrik tua ini.

Awalnya aku yakin, aku bisa, aku bisa, aku bisa.
Hingga di suatu titik kehidupan aku gagal.
Dan aku tidak mendapat apa yang aku harapkan.
Dan depresi adalah temanku.

Aku sampai tidak punya semangat untuk berjuang.
Dan aku kehilangan motivasi ke kantor.

Kegagalan adalah teman, sampai kamu terbiasa dengannya.
Dan kini, aku sedang membiasakan diriku.

Di sini, aku mengingat kembali tujuanku masuk perusahaan untuk apa. Untuk berdampak, untuk memberikan pengaruh, dan untuk menunjukkan eksistensi keberadaanku. Aku harus ada, aku harus bangkit, dan aku harus menunjukkan antusiasmeku.

Batch demi-batch berlalu.
Kecepatan produksi kami naikkan
Dari 1 jadi 3 batch.
3 batch jadi 4 batch
Kemudian 4 batch jadi 5 batch
Dan 5 batch jadi 6 batch.

Akhirnya kami menyentuh angka 6.
Dan 6 batch inilah yang yang menjadi angka kami idam-idamkan.

Walau setelah itu pabrik mengalami masalah, tetapi kami sudah menyentuh angka 6. Di sinilah kebangkitan produksi dimulai. Di mana teman-teman sudah mengetahui strategi produksi, dan kami menyelesaikan tugas kami.

Saat ini masalah masih tetap ada, dan saya sudah dimutasi ke Plant lain.
Saatnya saya meninggalkan sesuatu untuk tim produksi, yaitu SOP dan troubleshooting list.

Selama masalah masih ada, maka perang akan tetap ada.
Untuk menyelesaikan peperangan yang berikutnya, mari kita berjuang bersama.
Untuk keluar dari ambang keputusasaan.