Hidup Santai Walaupun Terbantai

Terbantai. Kata kuncinya kejam sekali untuk sebuah judul. Bukan, ini bukan cerita tentang penjagalan atau genre thriller. Ini hanyalah sebuah genre rom-com: Romusha – Comedy.

Kamu sering merasa hidup lagi susah-susahnya?

Kerjaan mulai banyak dan berat?

Kuliah mulai susah dan tuntutan akademik rewel?

Mungkin aku bisa memberimu tips cara hidup yang menyenangkan walau terkena stress dari berbagai sisi.

Identifikasi sumber stress

Setiap stress pasti beralasan: stress pekerjaan, stress pasangan, stress keluarga, ataupun stress karena kekurangan dana (ini masalah kita semua nggak sih?).

Karena setiap marah, sedih, dan coping mechanism lain seperti mengamuk atau menangis, adalah perwujudan dari stress.

Sudahkah kita mengetahui pasti apa yang bikin kita stress? Coba tuliskan semua rasa yang kamu terima di saat ini dan bagaimana dengan sumbernya, apakah dirimu mengetahui pasti?

Dampak negatif stress

Stress bersumber dari suatu masalah, dan menimbulkan masalah baru. Bisa perilaku hidup konsumtif alias boros yang memicu kekurangan dana. Bisa kesehatan yang terganggu seperti timbul demam, migrain, flu, maag, asma atau penyakit lainnya.

Bisa juga suatu hubungan yang malah menjadi renggang hanya karena kita melampiskan stress kita dengan cara yang salah. Ini akan merugikan kita dan orang-orang di sekitar kita.

Strategi mengatasi stress dengan santai

Aku tidak mengajarkan kamu untuk menjadi pemalas, apalagi menjadi seorang prokrastinator atau penunda-nunda. Karena itu hanya akan menimbulkan suatu masalah baru.

Dengan malas menghadapi tantangan kita dan kita menunda-nunda, kita malah mendapatkan pekerjaan yang lebih banyak dan berat. Di suatu titik, akhirnya stress kita memuncak dan berakibat fatal.

Ini adalah cara santai menghadapi tekanan yang membuat kita terbantai. Dengan demikian, kita akan bisa menjalani hidup yang tetap bahagia.

1. Komunikasikan diri kita yang sedang tertekan

Komunikasikan dengan orang-orang di sekitar kita. Yakinilah bahwa orang-orang tersebut mau support dan solider hanya mendengarkan kita. Pastikan kita tidak memendam rasa itu sendirian.

Tentu saja, orang yang pantas kita ceritakan adalah teman dekat atau sahabat, pasangan (jika ada), dan orangtua. Mereka yang peduli pasti mau mendengarkan, mau memahami, dan mendukung apa yang kita lakukan.

2. Cari support system di sekolah / kampus / tempat kerja.

Support system adalah pusat dukungan, yaitu orang-orang yang satu tujuan, saling mendukung, menyemangati dan penuh positivitas.

Mereka bisa jadi HR, bisa jadi atasan, bisa jadi teman kerja, bisa jadi teman departemen lain. Untuk mahasiswa, bisa jadi mereka teman SMA, teman sejurusan, teman beda fakultas, teman beda kampus, teman seorganisasi.

Support system ini berfungsi untuk menjaga semangat kita saat kita mulai putus asa dan mau menyerah untuk mencapai tujuan. Bedanya, mereka tak hanya memberikan kesrmpatan kita bercerita. Mereka memberi dukungan moral yang cukup, sehingga kita termotivasi untuk menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaan kita.

Ini juga bermanfaat untuk menjaga positivitas, sehingga kita tidak hanya mengeluh saat bekerja dan mengerjakan tugas.

3. Luangkan waktu untuk menekuni hobi

Pastikan kita memiliki alokasi waktu buat jalanin hobi kita. Dengan begitu, kita akan mencari cara agar kita bisa tetap waras di dunia yang kadang gila ini. Mengembangkan hobi bukan untuk cari eksistensi, validasi, maupun apresiasi. Pastikan hobi ditekuni sebagai sarana pemenuhan hasrat diri.

Hobi kita adalah suatu anugerah. Dengan memiliki hobi, hidup kita menjadi penuh warna. Dan kita akan lebih mencintai diri sepenuhnya.


Tekanan hidup memang keras, dan kita sering terbantai karenanya. Namun itu bukan berarti kita tidak bisa hidup santai.

Ambil waktu sejenak untuk ngobrol dengan orang-orang di hidup kita, mencari support system yang menjaga motivasi kita, dan menekuni hobi.

Karena bekerja adalah bagian dari hidup, dan hidup tidak melulu soal pekerjaan.

Hanya kita yang bisa menakar, memahami, dan mengerti esensi kehidupan ini. Maka jangan lupa untuk tetap sadar dan tetap menjiwai hidup ini dengan sepenuh hati.

Bicara dengan Leluasa, Legakan Belenggu di Dada

Aku punya seorang teman, mungkin lebih pantas disebut sahabat. Satu dekade ini kita bersama. Dia adalah orang pertama yang harus tahu setiap saat dalam hidupku: suka duka, untung malang. Dia mengetahui isi dari setiap hatiku. Kami terbiasa terbuka.

Suatu kesempatan, aku pernah mengalami musibah kehilangan uang. Lalu aku mendatanginya dan berkata.

“Pinjam dulu seratus”

Tentu tidak. Aku bercerita tentang bagaimana aku bisa kehilangan sejumlah uang, dan bagaimana aku menanggapinya. Kala itu aku sangat menghayati kesedihanku. Aku menangis tersedu-sedu. Aku terisak, dan dadaku sesak.

Setelah semuanya tenang, normal. Aku sendiri mendapatkan ketenangan untuk bisa bercerita secara detail, dan lebih menggunakan ingatan dan logikaku. Dia menyimak dengan seksama dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

Kami mencari solusi bersama, dan di akhir diskusi kami bisa saling menguatkan satu sama lain.

Pada lain kesempatan, giliran dia yang bercerita dan aku yang mendengarkan. Aku yang mendengarkan kadang ikut berempati.

Marahnya menjadi marahku.
Sedihnya menjadi sedihku.
Dan bahagianya menjadi bahagiaku.


Teman-teman sendiri pasti pernah memiliki teman, sahabat, pacar, anggota keluarga, atau siapapun yang biasa diajak cerita. Ketika kita bercerita kepada orang lain permasalahan hidup kita, kita sudah lebih tenang dibanding sebelum kita bercerita.

Karena tujuan dari kita bercerita adalah, ingin didengarkan.

Kita hanya butuh didengarkan, dipahami, dan dibuat lebih nyaman. Tiada kurang tiada lebih. Dengan kita berusaha untuk terbuka, bercerita, dan melepaskan segalanya, kita akan melegakan semua belenggu yang terpaku di dalam dada.

Kita hidup tidak sendirian, itulah sebabnya kita membutuhkan teman untuk bercerita.


Bagaimana dengan psikolog?

Hampir sama seperti teman kita bercerita, mereka juga mendengarkan, memahami, tanpa penghakiman. Bedanya, mereka terikat oleh hubungan professional. Mereka dibayar, teman kita tidak. Mereka hanya terbatas waktu, teman kita (mungkin) tidak.

Ada satu perbedaan yang mendasar ketika kita mengunjungi psikolog dan tidak. Ketika kita tidak mengunjungi psikolog dan hanya bercerita kepada teman, kita hanya melegakan belenggu di dalam dada. Hanya agar tidak terpikirkan. Tetapi ketika kita mendatangi psikolog, kita berharap bahwa mereka akan memberikan kita tunjangan kognitif, afeksi, dan psikomotorik dan landasan keilmuan yang kuat, sehingga kita akan lebih mendalami sisi psikis kita.

Mereka bisa menjadi coach atau mentor pribadi kita.

Lebih tenang setelah cerita kepada teman, lalu apa perlu pergi ke Psikolog?

Tergantung. Apakah kita masih bisa menghadapi situasi psikis, yang kadang berujung kepada efek psikosomatis dan psikologis kita? Apakah kita cenderung kuat menghadapinya sendiri?

Apabila tidak, mencari bantuan professional tentu lebih membantu kita. Dalam hal ini, ada tujuan yang ingin dicapai ketika kita mengunjungi psikolog. Tujuan itu biasanya lebih besar dan lebih mulia:

  • Ingin mengenali inner child dalam diri dan bagaimana cara mengelolanya
  • Ingin memaksimalkan semua potensi dalam diri
  • Ingin terbebas dari belenggu masa lalu dan berhenti mengutuki diri.

Kepada setiap insan, yang mungkin kelelahan. Dan masalah tidak berkesudahan, ingatlah ini:

“Ada seseorang di luar sana yang menantikan kepulangan kalian. Mereka merindukan kalian, mereka menyayangi kalian. Jagalah diri, seperti mereka sudah menjaga Anda
Sayangi diri, seperti mereka menyayangi Anda.

Begitu Anda ingat, orang tersebut siapa. Ceritakanlah kepada mereka. Menangislah, terbukalah, dan jujurlah.

Karena keindahan hidup telah mereka bawa dalam kepingan hati mereka.

Bisa jadi, Ibu teman-teman sudah menantikan kabar dan siap mendengar kalian bercerita.
Bisa jadi, ada sahabat kalian yang menunggu kabar kalian untuk bercerita.
Bisa jadi, ada seorang khusus yang menanti-nanti kalian, menunggu kabar kalian untuk selalu terbuka dan cerita.

Maka jangan takut untuk bercerita,
Jangan takut lepaskan belenggu dalam dada.

Pentingnya Memahami Emosi Kita

Untuk bisa mengerti pentingnya memahami emosi kita, mari kita simak cerita berikut. Ada seorang anak bernama Kenny. Dia sangat lapar. Dia ingin makan. Ia ingin sekali makan nasi dan ayam goreng. Ia meminta orangtuanya untuk memberinya makan. Ia ingin supaya mendapatkan nutrisi dari makanan.

Ia terus dan terus meminta, tetapi orangtuanya belum menyediakan makanan. Ia terus dan meminta lagi, tetapi orangtuanya masih saja mengabaikannya.

Ia pun kelaparan, dan perutnya keroncongan. Ia segera meminta makanan.
Namun belum diberinya makan juga.

Ia jatuh sakit, dan meminta agar diberi makanan. Namun orangtuanya masih belum memberikan makanan.

Lama-lama dia sakit, dan akhirnya mati…


Tentu saja ini bukan cerita nyata. Karena mana ada orangtua yang tega membunuh anaknya sendiri dengan tidak memberinya makan, tanpa mengajarkannya untuk mencari uang. Dan anak seperti Kenny yang belum punya inisiatif seperti itu, biasanya mereka yang belum mengerti cara mendapatkan uang dari bekerja. Dan mereka hanya meminta-minta.

Cerita ini tak akan pernah terbit dimanapun.

Namun, cobalah mengganti peranan tersebut:

Kenny, adalah inner child kita.
Lapar, adalah emosi kita.
Orangtua, adalah kesadaran dan diri terbesar kita.
Sakit, adalah keadaan mental diri kita yang terganggu.
Mati, adalah kondisi kritis mental kita yang sudah terlambat untuk ditolong.

Mungkin, jika peranannya diganti, mari bertanya pertanyaan yang sama: mana ada diri yang tega membunuh emosinya sendiri dengan tidak memberinya pengakuan diri, tanpa memahaminya dengan kesadaran.

Mungkin diri itu adalah aku, kamu, atau bahkan kita semua.
Mungkin saat itu kita tidak menyadarinya.

Dari satu luka, tumbuh menjadi suatu bencana.

Mengapa kita harus mengenali emosi, dan bagaimana caranya?

Emosi manusia sangatlah beragam. Ada senang, sedih, marah , takut, kaget, jijik. Manusia yang tidak terbiasa memahami emosi, akan cenderung mati rasa, dan akan timbul gangguan kejiwaan lain, seperti sosiopati atau psikopati. Itulah sebabnya para orangtua di dunia ini punya kewajiban mengajarkan cara memvalidasi emosi kepada masing-masing anak.

Biasanya mereka mengenalkan emosi kepada anak dengan cara memberinya suatu tayangan, mengajarkannya melalui raut wajah, dan selalu mendorongnya untuk jujur dengan apa yang dirasa.

Setiap orangtua sebaiknya memvalidasi emosi anak-anaknya. Dengan demikian, anak akan lebih terbuka terhadap diri sendiri dan lebih bijak dalam mengelola emosi.

Tanpa emosi, hidup seseorang akan berbahaya

Bayangkan, ketika kita tidak bisa merasakan sedih sama sekali. Maka kita juga tidak bisa merasakan senang, takut, jijik, ataupun rasa-rasa lainnya. Ketika ini dibiarkan, seseorang akan cenderung menyakiti dirinya, bahkan membawanya ke keadaan bahaya.

Ini bisa membahayakan hidup diri sendiri maupun orang lain. Apabila kita tidak bisa berempati kepada diri kita, bagaimana kita mampu berempati kepada orang lain?


Emosi manusia sangat kompleks. Tanpa suatu penerimaan diri lewat self-discovery, kita akan mengutuk semua emosi negatif dan membenci diri. Jika kita bisa menerima diri, kita akan lebih terbuka dengan setiap emosi. Dengan demikian, kita akan lebih jujur kepada diri sendiri, bisa memvalidasi emosi, dan mampu mengelola emosi.

Menyelami Masa Lalu

Aku berjalan menemui suatu tempat yang indah, nyaman, tenang, dan juga menyenangkan. Aku melihat ada suatu hutan yang rindang dan terdapat air terjun, pohon berbuah, dan bunga-bunga bermekaran. Rasanya sepert hidup masa lalu yang menyenangkan. Tanpa gawai, tanpa teknologi, dan tanpa ekspektasi orang lain.

Aku berjalan dan menemukan ada sebuah istana megah. Begitu masuk, aku melihat ada banyak mainan di sana. Terutama banyak boneka. Ada boneka jerapah, kudanil, bebek, dan kodok. Bahkan ada banyak karakter kartun di sana. Betapa lucunya mereka semua, hingga aku mendatangi dan memeluk boneka tersebut. Apalagi ada boneka anjing besar yang bulunya lembut dan lucu.

Ketika ada suatu ranjang putih yang empuk, aku putuskan untuk tidur di atasnya. Aku tertidur sangat pulas, hingga aku terbangun dengan perut yang sangat lapar. Aku mengunjungi meja makan istana itu, dan aku melihat ada banyak makanan di sana. Ada masakan berbasis daging sapi dan ayam, goreng dan bakar. Ada zuppa soup, spaghetti, kentang goreng, dan salad buah. Ada banyak minuman. Aku memakannya satu persatu, dan aku bisa merasakan renyahnya tepung, gurihnya bumbu ke dalam lidahku.

Musik yang kudengarkan dalam ruangan ini lembut, mengalun, dan tenang. Kurasakan musik yang merasuk ke dalam jiwaku. Telingaku serasa dimanjakan, dan aku merasa puas dan cukup.


Betapa indahnya imajinasi ini. Sampai aku menyadari sesuatu bahwa ini bukanlah realita yang selama ini kuhadapi. Ini adalah gambaran ideal mengenai definisi kenikmatan dunia.

Pada saat itu, aku merasakan banyak rangsangan sensorik yang menyenangkan:

  • Rabaan, aku dapat merasakan empuknya bantal dan boneka yang membawaku kepada kenikmatan tidur.
  • Rasa, aku dapat merasakan kecapan bumbu-bumbu, tekstur daging, dan berbagai macam rasa yang memanjakan lidahku.
  • Penglihatan, aku melihat air jernih mengalir, hijaunya hutan, dan keindahan hamparan bunga.
  • Pendengaran, aku mendengar musik klasik diputar.
  • Penciuman, aku mencium aroma sedapnya masakan, aroma wangi bunga-bunga, serta udara segar yang bebas bau.

Hal ini juga berlaku dalam pengalaman masa kecil yang pernah kualami. Mendapatkan kado boneka sebagai hadiah ulang tahun, makan di restoran Jepang yang enak, mendengarkan musik klasik untuk menghantarku tidur, mencium aroma wangi lantai yang baru dipel Ibu.

Betapa indahnya masa-masa itu. Rasanya, ingin kuputar kembali waktu. Aku seperti hidup kembali.

Jadi, apakah masa lalu penting untuk dikenang?
Bagaimana jika dibalik, kelima panca indera tersebut menerima rangsangan negatif, dan yang ada hanyalah trauma?

Masihkah kita sanggup mengingat masa lalu tersebut?

Pentingnya Memahami Kenangan dan Pengalaman Masa Lalu

Setiap dari kita lahir, tumbuh besar, dan mendewasa dengan cara dan latar belakang yang berbeda. Dengan asal keluarga dan daerah yang berbeda, pasti kita semua punya pengalaman yang berbeda, terkait masa lalu kita.

Tanpa adanya masa lalu, tidak akan ada masa kini dan masa depan. Namun demikian, masa lalu bukanlah segalanya untuk menentukan hidup kita.

Bukan berarti ketika kita menderita kemalangan atau musibah di masa lalu, masa depan kita akan ikut hancur.

Apakah mengenang masa lalu itu penting?

Filosofi ini mirip seperti teman-teman yang hendak mengemudi kendaraan bermotor (motor atau mobil). Ketika kita mau berbelok, atau mendahului, tentu kita akan melihat kaca spion terlebih dahulu, baru menentukan apakah akan berbelok sekarang atau mendahului sekarang, atau nanti saja.

Ketika kita melihat spion dan menemukan manfaat darinya, bukan berarti kita harus melihat spion terus, kan?

Masa lalu itu sangat diperlukan. Terutama ketika kita akan menggali akar trauma / primal wound. Akar trauma ditemukan dari kumpulan masa lalu. Yang kadang menyakitkan kendati indah untuk dikenang.

Aku ambil contoh, pengalamanku hilang di mall. Cerita bermula ketika aku masih usia pra-TK. Saat itu aku ikut berbelanja dengan ibuku di Matahari. Aku sangat suka menyelinap di balik manekin-manekin yang menampilkan baju promosi atau display. Ketika aku terlalu lama bersembunyi di manekin, aku kehilangan jejak orangtuaku, dan akhirnya aku terpisah jauh dari mereka.

Aku mencoba mencari mereka dan tidak menemukan. Akhirnya aku menangis, hingga pihak swalayan mendatangiku dan berkata, “Mama kamu namanya siapa?”

Dengan polosnya, aku menjawab, “Aku gak punya Mama!”

Lalu petugas swalayan itu bertanya padaku, “Datang ke sini tadi sama siapa nak?”

Aku menjawab, “Sama Ayah dan Ibu…”

Mungkin petugas swalayan tadi setengah kesal, kendati petugas memanggil nama orangtuaku di pusat informasi, dan berharap mereka akan segera menjemputku.

Dan aku diketemukan oleh orangtuaku. Kami berpelukan dan aku makan siang chineese food di mall itu.


Apakah pengalaman itu penting? Ya sangat penting. Karena di sini kita belajar bahwa kemampuan komunikasi harus ditanamkan sejak kecil. Karena saat kecil kemampuan emosional dan problem solving ku sangat rendah, aku cenderung menangis sampai ada orang yang datang menghampiriku.

Apakah pengalaman ini menyakitkan? Tentu saja, pengalaman ini membuat aku terkadang takut untuk ditinggal dan dibiarkan sendiri.

Apakah pengalaman ini menyenangkan? Saat bagian aku sudah bertemu orangtuaku dan kita makan bersama, tentu saja menyenangkan.

Mengenali Kenangan Emosional

Masa-masa paling berkesan adalah masa kanak-kanak. Di masa inilah emosi-emosi dasarku terbentuk. Aku jadi bisa merasakan sesuatu karena aku sudah melewati masa ini.

Namun, masa inilah yang membentuk rasa takut, amarah, dan kesedihanku. Aku mulai sadar, bahwa hal-hal aneh yang sulit dijelaskan di masa kini berasal dari masa lalu. Seperti aku takut ada orang yang meninggalkanku, dan takut akan ada orang yang membentak atau memukulku.

Menyelami masa lalu, berarti menyelami segala bentuk emosi, baik itu negatif atau positif.

Emosi yang ada ini, memberikanku suatu dorongan untuk lebih mengenali diri dan melakukan self-discovery.

Menciptakan Ruang untuk Refleksi

Saat aku merasakan sesuatu, setelah mengumpulkan puing-puing masa lalu, biasanya aku menuliskannya di lembar refleksiku.

Selain bertindak sebagai pelacak perasaan, refleksi juga semakin mendekatkanku kepada penemuan diri yang utuh. Mereka adalah petunjuk dari fragmen-fragmen masa lalu yang mudah terlupakan.

Penggunaan Terapi untuk Mengatasi Trauma dan Luka

Setelah aku putuskan diriku untuk pergi ke psikolog, aku menemukan lebih jelas gambaran diriku lewat terapi. Dan inilah salah satu keunggulan yang tidak bisa didapatkan dengan cerita kepada teman.

Cerita hanya menenangkan pikiran yang berkecamuk, sementara konseling bisa menghantarkan kita kepada penyembuhan batin.

Selama terapi, aku tidak hanya melihat alam bawah sadarku secara nyata. Tetapi aku juga mendengarkan mereka berteriak, menjerit, bahkan menangis. Aku bisa lebih berempati dan menyadari diri mereka.

Menggunakan Pengalaman Lalu untuk Pertumbuhan Pribadi

Masa lalu belum tentu mencerminkan masa depan. Tetapi dari masa lalu, kita bisa belajar menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Masa lalu yang indah, adalah motivasi diri untuk selalu mengusahakan keindahan di setiap masa: masa kini dan masa depan. Sesulit apapun masalah yang dihadapi, sesuram apapun dunia yang ditinggali, jangan lupa untuk bahagia dan tersenyum.

Ketika kita belajar dari masa lalu, sebenarnya kita sudah satu langkah lebih maju dalam mengenali diri sendiri. Di situlah self-development dan self-discovery berproses.

Masa lalu adalah harta berharga kita, yang memiliki ingatan dan kesadaran yang utuh. Di sana tidak hanya terdapat pelajaran, namun juga misteri hidup. Mulai dari akar luka sampai inner child, semua hal bisa dijelaskan dengan mengulik masa lalu.

Mungkin, masa-masa itu sulit untuk dikenang, apalagi peristiwa buruk. Tetapi, kehadiran para Psikolog Klinis adalah untuk menenangkan diri kita, ketika reaksi-reaksi tidak nyaman mulai muncul.

Mungkin kita akan menangis keras, atau badan kita bergetar dahsyat. Namun itulah cara kita bisa keluar dari belenggu yang selama ini kita tanggung.

Untuk hidup, berarti untuk merasakan.
Karena rasa, adalah anugerah.
Di setiap masa, pasti ada rasa.
Rasa itulah yang membuat kita hidup setiap harinya.

Sudah merasakan apa kamu hari ini?


#30DWCJilid44 #Day7

Membangun Hubungan yang Baik dengan Psikolog

Jangan takut dengan psikolog, itu pesanku. Mereka hanya manusia, seperti kita. Memang awalnya aku mengira mereka adalah manusia dengan otak superkomputer yang bisa menyelami dalamnya hati dan pikiran manusia. 

Jangan takut mereka akan menghakimi dan menyudutkan. Karena mereka punya kode etik untuk bekerja. 

Jangan takut mereka akan membocorkan semua yang kamu ceritakan. Meskipun mereka punya akun sosial media, mereka akan berbagi konsensus denganmu setiap akan membuat story tentangmu.

Tentu saja, kamu boleh untuk tidak secepat itu mempercayai psikolog sampai kamu mengunjunginya. Maka berikut aku akan berbagi tips bagaimana agar tidak takut dan berhubungan erat dengannya.

Menghubungi lebih dahulu di WhatsApp

Sebelum konseling, kita bisa mengawali mengobrol dahulu dengan Psikolog di WhatsApp. Hal ini dimaksudkan agar kamu tidak canggung saat menceritakan dirimu. Ngobrol ini bisa dengan perkenalan: domisili, asal, background pendidikan, dan minat, atau hobby.

Ceritakanlah garis besar masalahmu di Word File

Takut energi habis saat akan bercerita panjang lebar soal diri sendiri?

Ceritakanlah dirimu dan masalahmu dengan menguraikannya pada selembar kertas. Kamu bisa menulis bebas tanpa format dan tanpa hambatan. Anggap kamu menulis untuk diri sendiri.

Tanyakanlah pada Psikolog apakah dia berkenan untuk dikirimi file tersebut sebelum kita konseling? Bila tidak, cobalah untuk menyerahkannya di hari H konseling.

Cobalah untuk ngobrol lepas pra dan pasca konseling

Ini dimaksudkan agar hubungan kalian tidak sebatas hubungan profesional yang kaku. Siapa tahu kalian bisa dekat untuk diskusi atau melakukan hal yang besar.

Sebenarnya hal ini juga agar kalian tidak kaku dan mulai terbuka satu sama lain. Terutama saat menceritakan hal-hal sensitif. Cobalah menanyakan keluarga, biasanya orang-orang menyukainya. Atau makanan enak. Atau bisa jadi tempat baru untuk dikunjungi.


Kembali lagi kita harus ingat bahwa mereka juga manusia. Mereka bukan malaikat penjaga gerbang surga maupun seorang hakim (karena gelar mereka bukan SH atau MH). Merekalah manusia yang siap membantu kita keluar dari permasalahan.

Dengan demikian, kita akan lebih terbuka dengannya dan self-discovery kita akan lebih bermakna.

#30DWCJilid44 #Day6

Alasanku Mengunjungi Psikolog

[trigger warning] Aku terbaring di antara bantal guling yang tak beraturan, setelah beberapa jam yang lalu emosiku meledak-ledak.
Aku menangis, mengerang, dan meraung dalam benda empuk tersebut. Penuh tekanan dan derita atas beberapa bulan berpura-pura ini, mentalku akhirnya hancur juga.
“Apakah aku membutuhkan Psikolog?” Pikirku melayang dalam angan yang tak berkesudahan.

Keesokan harinya aku kembali merasakan dunia yang indah, cerah, matahari bersinar, udara segar. Pokoknya segala kiamat dunia telah musnah dan kini lahirlah langit baru dan bumi baru. Harapan baru. Semangat baru. Seakan semalam tak terjadi apa-apa.

Aku kembali melanjutkan hari-hariku. Bekerja seperti biasa. Bermain seperti biasa.

Suatu ketika di suatu siang, entah mengapa aku seperti tersambar petir. Ada orang yang mengusikku dengan mengingatkanku pada luka lama:

Kenangan mantan.
Kemarahan orang lain.
Omongan orang yang menyiksa batin.

Hingga akhirnya air mataku terburai.

Air mataku habis sejadi-jadinya. Aku hancur sejadi-jadinya. Aku kembali jatuh mental.

Di suatu malam yang dingin, aku kembali mengenang hal-hal yang menyakitkan itu. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku tidak tahan dan memutuskan untuk mengambil bak berisi air.

Aku memasukkan kepalaku sedalam mungkin hingga aku tak merasakan nafas yang erat dan cukup pusing. Sampai akhirnya aku mengeluarkannya.

Aku tidak tega.

Frustrasi. Aku mengeluarkan kepalan tinjuku dan kukeluarkan ke tembok ini.

Aku putus asa.
Dan aku berada di ambang kesadaranku.

Satu tahun berlalu dan aku hidup normal. Cukup normal sampai aku merasakan tekanan kerja. Dan aku kembali menangis sendirian di kantor, seorang diri.

And the cycle repeats on and on

Mungkin itulah penggalan kisah dari satu rentetan kisah yang panjang. Mungkin itulah fragmen dari bagaimana dunia ini bekerja.

Dan mungkin itulah cerita kelam yang menghiasi hiruk pikuk dunia dan kesibukan orang dewasa ini.

Tapi, siklus ini tak boleh dibiarkan berulang.

Pertanyaan nya :
Mau sampai kapan?
Mau berapa orang lagi ku korbankan?
Mau sesering apa ku menutupi diri sendiri dan terus main kucing kucingan dengan perasaan?

Semua pertanyaan ini aku jawab dengan mengunjungi psikolog.


Tiga pilar inti alasan ke Psikolog

Ketika aku ditanya oleh psikolog apa tujuanmu datang ke sini, aku menjawab dengan sederhana:

  1. Ingin lebih kenal dengan diri sendiri
  2. Mau memaksimalkan potensi diri
  3. Ingin hidup di tengah tengah masyarakat dengan batasan yang sehat

Adapun alasan implisit dariku adalah : aku ingin keluar dari rantai trauma yang tak pernah berakhir ini. Kuingin bebas sebebasnya dari belenggu masa lalu, dan aku ingin melesat jauh dengan kemampuan yang ada.

Tidak takut ke psikolog

Banyak temanku yang kuliah jurusan psikologi. Mereka mendorongku untuk pergi ke psikolog dan konseling. Aku pun tidak dicap gila atau kurang waras. Selain itu mereka malah memberiku semangat dan motivasi agar aku pulih kembali.

Tidak takut kemahalan

Ada harga ada rupa. Aku rasa, kunjungan ke Psikolog ini tak menjadi hambatanku untuk menabung dan financial freedom. Aku tetap bisa menabung yang banyak di bulan-bulan berikutnya. Aku masih bisa sukses dengan cara apapun selain bergantung pada gaji.


Semua ceklis sudah dilakukan. Dukungan keluarga dan teman ada. Uangnya juga sudah ada. Alasannya juga sudah kuat. Saatnya aku berangkat.

Semua ini demi masa depan yang aku impikan. Inilah hari-hari indah yang akan kuceritakan pada lembar-lembar berikutnya.

Akan kubuktikan kepada dunia, bahwa kunjungan ke Psikolog ini penuh manfaat dan dampak baik. Sehingga aku tak akan pernah menyesal.

#30DWCJilid44 #Day5

Mengatasi luka dan trauma generasi sebelumnya

Sebut saja Benny. Seorang anak yang tumbuh besar dari keluarga yang keras. Dengan karakter Ayah yang suka main tangan, dan Ibu yang suka membentaknya, maka lengkap sudah luka dan trauma generasi sebelumnya di keluarga ini.

Benny diharuskan untuk rajin belajar di sekolah dan rumah. Di sisi lain, Benny harus jatuh bangun dengan situasi mentalnya. Kadang dia menghadapi UTS / UAS dengan stress. Tak jarang Benny sakit saat ujian, karena saking stressnya.

Di luar akademik, Benny memiliki manajemen emosi yang buruk. Tak jarang dia melampiaskan emosinya dengan cara memukul temannya. Bukan cuma tukang berkelahi, kadang dia memukul temannya apabila tidak setuju dengan pendapat temannya. Dia juga suka membentak semua orang ketika dia diledek dan dicemooh, atau diatur-atur.

Benny tumbuh besar hingga dewasa, dan akhirnya bekerja. Di kantor ia juga menunjukkan sifat yang giat bekerja, namun keras kepala kepada rekan kerja dan bawahannya. Dia suka membentak orang yang mendebatnya dan selalu ingin menang debat.

Ketika Benny menikah, dan punya anak, rumah tangga Benny serasa neraka. Dia sering memarahi istrinya ketika istrinya tidak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik. Tak jarang, Benny juga membawa masalah kantor ke rumah dan menyerang seisi rumah. Belum puas juga, Benny melampiaskan amarahnya dengan memukul Clive, anaknya.

Clive akhirnya merasakan hal yang dulu dirasakan Benny.

And the cycle repeats

Sejarah hanya akan mengulangi dirinya kembali, apabila kita sebagai pelaku sejarah tidak merubahnya.

Damar P.

Mungkin kamu, aku, dan kita semua pernah mengalami yang dirasakan Benny tersebut.

Mungkin sebagian, atau seluruhnya.

Bisa jadi, kita melahirkan Benny-Benny yang lain tanpa disengaja. Semua itu karena alam bawah sadar kita merekam luka dan trauma dari generasi sebelumnya.

Oleh karena itu, mari mempelajari secara singkat tentang:

Luka dan trauma generasi sebelumnya

Pada contoh di atas, Benny hanyalah “menyalurkan” luka generasi sebelumnya (generational trauma), dalam tindakannya sehari-hari. Tanpa sadar, luka tersebut menyalur ke anaknya sendiri.

Kalau diibaratkan pantun:

Ada lakban ada paku
Dulu korban, sekarang pelaku

Benny hanyalah sang korban. Dan Bennylah yang menggantikan peranan bapaknya saat dia memiliki anak.

Benny bisa menjadi seorang yang keras, karena lahir di keluarga keras. Ia menjadi tukang pukul, karena sering dipukul oleh ayahnya. Dia juga selalu membentak, karena dari kecil diasuh dengan bentakan.

Benny merasakan luka yang amat dalam dengan perlakuan orangtuanya. Namun, Benny tidak berusaha untuk menyembuhkannya dan malah membuatnya menjalar ke generasi berikut.

Tindakan Benny ini dilakukan, karena dia tidak tahu …

Dampak generational trauma

Benny tidak mengetahui dampak buruk dari generational trauma. Dirinya tidak hanya menyalurkannya untuk anaknya sendiri, Clive. Ia pun juga menyalurkan trauma ke orang-orang sekitar: teman sekolah, teman kerjanya, bahkan keluarganya sendiri.

Orang lain yang tidak mengenal Benny dan mengetahui sisi dalam dari Benny, hanya akan menganggap Benny seorang sosiopat. Atau seorang yang temperamental. Ini tentu akan mempersulit lingkungan sekitar Benny, karena dia hanya akan membuat orang-orang di sekitarnya menjadi takut padanya.

Lebih buruk lagi, untuk anaknya sendiri. Benny akan membuat kondisi mental anaknya menjadi tidak stabil. Akibatnya anak akan berpotensi untuk menderita gangguan kejiwaan, bila tidak ditangani secara tepat.

Untuk itu, penting dalam mengetahui…

Cara mengatasi generational trauma

Apabila Benny sadar akan apa yang dilakukan orangtuanya sebagai sumber luka dan trauma, Benny akan mencari cara untuk sembuh. Setelah sembuh, Benny tidak akan membawa generational trauma yang berdampak pada keturunannya.

Maka solusi mengatasi trauma generasi atau generational trauma, adalah membangun kesadaran diri yang penuh, melalui self-discovery.

Kesadaran diri, termasuk di dalamnya adalah empati terhadap diri sendiri (self-empathy). Empati terhadap diri sendiri memiliki beberapa keuntungan, di antaranya:

  • Lebih mengetahui apa yang merusak dan membangun diri.
  • Mengenali ancaman yang mengganggu kenyamanan diri.
  • Menciptakan hubungan yang sehat terhadap dunia sekitar kita.

Kita akan lebih sadar terhadap diri sendiri, ketika kita mampu berempati. Cara berempati terhadap diri sendiri itu sederhana. Misal, ketika ada orang yang menghina kita, cobalah untuk menanyakan kepada diri sendiri:

“Tadi sakit gak, dikatain muka boros sama si A?”

Atau coba tanyakan ini:

“Pas dia bilang kamu gendut, kamu tersinggung gak?”

Hal ini juga berlaku untuk masalah yang lebih besar. Seperti halnya pada kasus Benny. Ketika Benny teringat pengalaman ayah yang suka memukul, Benny dapat bertanya kepada diri sendiri: bagaimana rasanya? Apakah Benny sangat terluka dan sedih dengan perilaku ayahnya? Seberapa marah Benny dengan ayahnya?

Kesadaran diri inilah yang membuat kita bisa mengetahui primal wound atau akar dari trauma. Di sinilah self-discovery yang sesungguhnya bermula.

Peranan psikolog dalam menyembuhkan luka dan trauma

Saat aku mencari primal wound atau akar dari trauma, aku mencari bantuan Psikolog Klinis.

Maka bila kita ingin mengetahui primal wound, serta memulihkannya, kita memerlukan bantuan professional. Saat itulah Psikolog Klinis berperan.

Mereka, para Psikolog telah menempuh pendidikan dan pengalaman lebih dibanding kita yang masih awam dengan ilmu Psikologi. Kita hanya bisa bekerjasama dengan mereka, dengan cara membangun kesadaran. Merekalah yang akan membantu kita dalam berproses.

Dalam kasus khusus, membangun kesadaran ini dapat dilakukan dengan cara latihan mindfulness dengan terapi bergaya meditasi. Ini adalah suatu keuntungan ketika kita konseling di Psikolog secara luring.


Dengan memahami luka dan trauma generasi sebelumnya, dan mencari cara untuk memulihkannya, proses pemulihan hanyalah progresi nyata hari demi hari. Tetap berusaha mengenali diri dan mengenali perubahan yang ada dalam diri adalah kunci dari membangun kesadaran yang utuh.

Dengan demikian, kita bisa menyelesaikan pengaruh luka dan trauma dari generasi sebelumnya.

Luka dan trauma jadi pulih,
Hidup pun jadi bernilai lebih,
dan prestasi mudah diraih!

Jadi, sudahkah kita menyadari luka dan trauma yang ada di generasi sebelum kita?

#30DWC #Day4

Awal mula cerita self-discovery

Bu Admila membuka percakapan hari ini. Di ruangan 3 x 3 meter inilah aku berdialog denan nya menuju self-discovery.

Tatapan beliau hangat, ramah. Hal ini membuatku bisa lebih terbuka dan lebih santai dalam mengungkapkan rasa dan isi hati.

Kami berangkat dari issue yang pertama yaitu ingin bunuh diri. Rasa dan pemikiran ingin bunuh diri ini sudah keluar sejak lama. Triggernya semakin erat di tanah Rantau, terutama saat di Batam.

Setelah itu, mata saya terisak ketika kita berdialog tentang hubungan asmara. Pada hubungan terakhir di mana saya putus kontak dengan pasangan, di sini air mata saya mulai bercucuran.

Suatu hal yang menjadi alasan mengapa saya datang ke Psikolog adalah, menghindari air mata ini menetes di waktu yang tidak diharapkan. Dan agar tetap professional dalam bekerja. 

Cerita berlanjut dengan kumpulan kekhawatiran menatap masa depan. Mengingat banyak inner child dan trauma yang belum tuntas, maka di sini tujuan saya semakin erat mengunjungi psikolog: untuk mengenal diri sendiri, memaksimalkan potensi diri, dan membangun batasan sosial yang sehat dengan lingkungan.²

Bersama Psikolog, menuju Self- Discovery

Awalnya, saya mengunjungi psikolog agar saya tidak takut kesepian dan tenggelam dalam kesendirian, sehingga saya ingin bunuh diri.

Namun, keinginan tersebut sempat maju-mundur. Saya bertanya kepada teman saya, apa alasan orang-orang tidaj mengunjungi psikolog padahal mereka tahu, mereka tidak baik baik saja. 

Jawabannya sederhana: tujuan. Mereka yang tidak pergi ke psikolog tidak punya tujuan sama sekali terkait kunjungan ke psikolog.

Lain cerita dengan saya, saya memiliki tujuan yang jelas sejak awal. Karena sudah mantap dengan tiga poin ini, saya akan membayar berapapun untuk kunjungan ke psikolog ini. 

Tidak murah

Menghabiskan 500.000- 1500.000 per pertemuan tentu tidak murah. Pasalnya biaya psikolog ini adalah biaya Klinik, karena bu Mila sendiri berpraktik di srbuah klinik swasta 8di Yogyakarta. 

Tetapi ada fasilitas yang didapatkan dari kunjungan ini. Yaitu tempat konseling yang empuk , bersih, dan nyaman. Ada AC dan ruang tunggunya juga.

Selain itu, saya mendapatkan PR mingguan yaitu refleksi harian dan tugas. Lebih dari itu semua, saya memvisualisasikan dan membuat wayang untuk memperkenalkan sub-kepribadian saya.

Apa itu sub-kepribadian, tentu saja kita akan bahas kemudian.

Menghadirkan persona unik selama self-discovery

Dalam upaya self-discovery, ada beberapa persona yang menonjol atau dominan. Persona ini adalah sub-kepribadian yang memberi suatu watak/ karakter dari timbulnya suatu response.

Kepribadian manusia itu kompleks. Kita tidak bisa mengatakan manusia  baik atau jahat hanya dari 1 karakter saja. Manusia dikatakan manusia karena dia hadir ke dunia.

Saya sendiri memiliki persona “yang disukai orang lain” dan “yang tidak disukai”. Inilah yang membuat saya semakin unik dan mencintai kehidupan.


Awalnya self-discovery terasa membingungkan, hingga di suatu titik kehidupan saya menyadari bahwa saya bisa menjadi seperti ini karena ada kepribadian yang mau saya lindungi. Yang selama ini terluka, tertinggal, dan terabaikan.

Dialah elemen kompleks yang ada di setiap saya terluka. Dialah variabel independen yang mempengaruhi keputusan hidup saya.

Dia: nama dari trauma yang timbul atas generasi sebelumnya.

Dia akan kuperkenalkan di bagian berikutnya.

Bersambung…

#30DWC #Day3

Era digital dan tantangan self-discovery

Sebut saja Albert, seorang pekerja kantoran penuh waktu (08.00-17.00). Selepas jam kerja normal, alih-alih pulang ke rumah dan melanjutkan pekerjaan, dia lebih suka bekerja di kantor hingga jam 20.00 atau 21.00. Sesampainya di rumah, dia tidak langsung tidur melainkan menghabiskan waktu di depan gawai digital : telepon pintar. Setelah menghabiskan waktu sekitar dua jam, dia baru beristirahat.

Keesokan paginya, Albert kembali memeriksa telepon genggam setelah selesai beribadah pagi. Ia membuka Instagram hingga pukul tujuh, dan kemudian mandi serta sarapan. Ia kembali masuk ke kantor dan bekerja mulai pukul 8.00. Siang hari saat makan, dia memeriksa gawainya dan menonton YouTube. Selesai makan siang, dia melanjutkan pekerjaannya hingga pukul 21.00

Dan siklus tersebut berulang : harian, bulanan, tahunan, bertahun-tahun. Hingga kini dia memiliki dua anak.


Cerita tentang Albert mungkin saja tidak terjadi di dunia fiksi, karena artikel ini adalah artikel non-fiksi. Jangan-jangan, kita semua pernah atau sedang menjadi Albert?

Karena itulah, mari mengenal suatu istilah:

Kebiasaan Digital

Pernahkah kita mengatur diri, kapan kita melihat ponsel untuk membuka Instagram, X, E-mail, YouTube, TikTok, dan aplikasi lainnya?

Tak usah berbicara “produktivitas”, pernahkah kita (iya kita, maksud saya kamu dan aku) mengatur kapan harus membuka aplikasi tersebut, dan kapan harus menutupnya?

Dalam konteks Albert, ia tidak mengatur kebiasaan digital dirinya, sehingga sosial media-lah yang mengatur hidupnya.

Keberadaan aplikasi browser, media sosial, e-mail, dan fasilitas streaming video memang memudahkan kita untuk mengakses informasi. Namun …

… bukan berarti karena mudah, kita harus mengakses aplikasi tersebut setiap saat.

“Bisa”, atau “mudah”, bukan berarti harus. Oleh karenanya kita perlu mengatur kebiasaan digital, agar kita tidak…

Kehilangan koneksi diri

Albert sudah menjadi contoh bahwa ia telah kehilangan koneksi dengan dirinya sendiri. Bayangkan, kita semua pernah punya mimpi untuk melakukan sesuatu: ambil kursus, kuliah lanjut, memancing di suatu tempat, berkeliling, mencoba makanan baru, dan mengunjungi saudara. Tetapi itu semua tidak pernah terwujud? Atau jarang sekali terwujud?

Pernahkah kita memikirkan hidup kita, masa depan kita, diri kita saat ini, masa depan orang yang kita cintai, perasaan mereka setiap hari, dan hal-hal penting lainnya?

Teman-teman, itulah koneksi diri.
Setiap orang termasuk kamu dan aku yang membaca tulisan ini, punya hubungan dengan diri sendiri. Apakah hubungan kita sudah baik dengan diri sendiri?

Sudahkah kita self-reward atas semua pencapaian?
Ataukah, sudahkah kita berempati terhadap kesalahan yang dilakukan agar berhenti mengutuki diri?
Dan sudahkah kita kenal diri sendiri sepenuhnya?

Self-discovery dalam era digital

Kita tidak bisa membendung pertumbuhan teknologi yang begitu cepat.
Pun begitu, kita juga tidak bisa melupakan tugas utama kita yaitu untuk mengenal dan menemukan diri.

Dua tajuk sebelumnya masih berhubungan. Kita bisa simpulkan dengan kalimat pendek berikut:

Mengatur kebiasaan digital dengan baik, akan membuat kita lebih mengenali diri.

Jika Albert bisa membatasi dirinya mengakses media sosial, mungkin Albert bisa mencoba restoran baru di kotanya. Ataupun dia juga bisa memancing ikan di suatu perairan tawar. Dan dia juga bisa mengasah skill baru yaitu pertamanan dan perkebunan.

Hidup Albert akan lebih bermakna, dan Albert akan menemukan dirinya yang utuh.

Bagaimana caranya membatasi diri dalam mengakses media sosial?
Tentu saja dengan membuat batasan spesifik, berapa jam atau jam berapa media sosial dapat diakses?

Misal, saya hanya bisa mengakses YouTube pada hari Minggu, jam 12.00-14.00. Selain itu, Instagram, setiap hari pada pukul 17.00-18.00. Kita bisa berkomitmen pada diri sendiri, dan membuat sanksi apabila kita melanggar.

Ada lagi cara yang lebih menyenangkan, yaitu menggunakan aplikasi bantuan di IOS maupun Google Play. Saya sendiri menggunakan Stay Focused karena mudah digunakan dan fiturnya lengkap.

Selain membatasi akses dengan media sosial, penting adanya untuk memaksimalkan fungsi media sosial. Misalkan: membangun personal branding yang baik agar akun kita menjadi berbobot. Atau membagikan kabar sukacita entah itu kabar gembira ataupun artikel positif.

Apabila kita hendak mengkonsumsi konten, coba pikirkan kembali apakah konten tersebut pantas untuk dikonsumsi secara sering. Apakah akan lebih banyak manfaat atau mudharatnya?

Terus konsisten dalam melakukan posting maupun mengkonsumsi konten yang berfaedah, akan meningkatkan kualitas diri kita. Saat itulah terjadi self-discovery yang bermakna.

Manfaat self-discovery di era digital.

Kita hidup di era digital, dan akan terus hidup hingga akhir hayat kita.
Apabila kita tidak mampu hidup memaksimalkan sarana daring seperti media sosial, kita akan terus dimanfaatkan oleh sarana tersebut. Maka izinkan saya memberi pepatah:

Aturlah media sosial, sebelum mereka mengatur hidupmu.

Cobalah untuk berkaca dari peristiwa Albert. Maukah kita menjadi Albert? Yang hidupnya mulai dikendalikan media sosial? Ataukah kita bisa merubah kebiasaan digital dan mulai membentuk hidup kita.

Dengan menemukan diri (self-discovery) di era digital, kita jadi mudah menggunakan sumber daya yang ada, dalam memaksimalkan potensi diri. Dengan demikian, kita akan terintegrasi dengan perkembangan zaman sehingga kita bisa mengalami pertumbuhan diri.

30 hari menuju self-discovery

Setelah menjalani self-discovery, aku terkesan dengan hidup orang-orang yang kuamati lewat layar kaca sosial media. Ada yang studi lanjut di luar negeri, ada yang sudah tunangan, ada yang menikah, ada yang punya momongan, dan ada yang mendirikan bisnis baru.

Tapi aku tidak iri, aneh bukan?

Bukannya sama sekali tidak iri, tetapi sudah tidak iri. Berarti sebelumnya pernah iri, dong?

Proses terbesar mengubah yang tadinya iri menjadi tidak merasakan iri, sebenarnya adalah perjalanan setengah tahun yang berat. Ada satu kata di sana yang penuh harapan dan membahagiakan:

Self-discovery, atau disebut penemuan diri.
Singkatnya, aku telah menemukan diriku sendiri.


Prestasi terbesar di 2023 yang kulakukan, adalah, aku menemukan diriku melalui kunjungan ke Psikolog. Itu sebabnya aku tidak iri dengan progress hidup orang lain, karena aku sudah mengetahui siapa diriku dan apa yang akan kulakukan.

Untuk tidak merasakan iri dengan progress hidup orang lain, kuncinya adalah satu konsep yaitu:

Mereka semua adalah rekan seperjuangan, bukan pesaing apalagi musuh.

Tadi aku menyebutkan sesuatu: kunjungan ke Psikolog. Apakah aku terkena gangguan jiwa?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, aku akan menjelaskan latar belakangku dan alasan di balik semua cerita.

Frustrasi dalam menghadapi tekanan berat di kantor

Kala itu, statusku masih kontrak dan aku belum diangkat menjadi karyawan tetap. Aku sering pulang jam sembilan malam, bahkan terkadang pulang jam 12 malam untuk menunjukkan loyalitasku pada perusahaan.

Aku yakin dan percaya, aku bisa melewati ini semua dan berhasil diangkat menjadi karyawan tetap.

Hanya saja, saat itu rasa khawatirku melebihi rasa percayaku. Sehingga aku cenderung mengalami perubahan emosi dan karakter ketika aku kelelahan.

Aku melampiaskan amarahku pada orang-orang di sekitarku.

Usut punya usut, ternyata amarahku tidak keluar begitu saja, melainkan disebabkan oleh akumulasi tekanan terus menerus. Tanpa sengaja aku menciptakan “drama” bagi kehidupan orang-orang di sekitarku.

Bukan cuma itu, aku sempat mengalami…

Disorientasi hidup dan menyadari arti self-discovery

Aku sempat hilang arah dalam hidup ini.

Bingung mau jadi apa,
Mau ngapain aja.
Mau ke mana.

Sempat tak bertujuan, aku sempat habiskan waktuku di hidupku untuk main-main, senang-senang, dan menghamburkan uang.

Sampai di suatu titik kehidupan, aku mulai bertanya pada diriku:

Sampai kapan mau begini terus?

Sadar akan semuanya, aku tidak bisa hidup dengan cara seperti ini, hingga aku:

Eksplorasi minat dan bakat

Aku mulai menekuni hobi lama: berolahraga Muay Thai, menggambar sketsa di atas kertas, menulis puisi, dan bernyanyi di cafe. Aku melakukan itu semua untuk menggali semua potensi diri.

Tak jarang, aku memamerkannya di media sosial guna mendapatkan pengakuan.

Ini tidak salah, karena motivasiku adalah diakui dan diberikan penghargaan. Yang salah adalah: aku berhenti melakukan hobbyku ketika aku tak mendapatkan validasi.

Sehingga aku putuskan untuk konseling ke Psikolog, karena…

Psikolog berperan dalam perjalanan self-discovery

Semula kukira, peranan psikolog hanya sebagai “teman cerita” atau tempat berkeluh kesah.

Hingga di suatu titik, aku berdiskusi kepada rekan kerjaku, bahwa psikolog lebih dari sekedar itu. Mereka mampu untuk mengamati, menganalisa, dan menilai perilaku serta unsur psikis kita.

Aku yang semula ragu, menjadi mau dalam memaksimalkan potensi diri.

Ternyata, aku punya kemampuan untuk menyelesaikan terapiku dalam kurun waktu 3 bulan: Mei-Juli 2023.

Diketahui bahwa aku sendiri punya…

Isu emosional dan trauma

Tak heran, isu trauma masa lalu yang menjadi penyebab.

Hal inilah yang menjadi sebab dari semua amarah, semua watak yang sulit dijelaskan, dan semua tangis yang mendadak keluar.

Di setiap hari, siang dan malam, trauma itu berkeriapan, menunggu saat dia “keluar” dari sarangnya.

Aku sendiri berharap, traumaku tidak menimbulkan suatu masalah, yang merepotkan banyak pihak.

Sehingga, aku datang ke psikolog dengan…

Tujuan dan harapan yang jelas

Saat itu, sekurang-kurangnya aku menemukan tiga buah tujuanku mendatangi psikolog:

  1. Ingin lebih kenal dan sayang dengan diri sendiri.
  2. Mau menggali dan mengerahkan semua potensi diri.
  3. Ingin hidup di tengah-tengah masyarakat dengan batasan sosial yang sehat.

Harapannya, aku bisa menemukan diriku secara utuh, yang mana aku tahu cara harus merespon trauma dan kenangan buruk itu.


Disinilah ceritaku dimulai.
30 hari menuju self-discovery adalah bentuk ekspresi sekaligus rekapitulasi dari perjalanan jiwaku dalam menemukan diri.

Simak diriku bercerita selama tiga puluh hari penuh.


#30DWC #30DWCJilid44 #Day1